Judul :
Menjadi Cahaya dalam Kegelapan
Penulis :
Despha
Dendi Irawan
Penerbit :
Change
Cetakan : I, Agustus 2015
Tebal :
xxiv + 356 Halaman
ISBN : 978-602-372-020-0
Masa remaja adalah masa di mana setiap orang sedang
mengalami masa transisi. Masa remaja identik dengan masa pencarian jati diri,
makna, dan tujuan hidup. Hal ini pula yang dialami Despha Dendi Irawan di masa
remajanya kala masih duduk di bangku SMA. Seperti sebagian anak remaja lainnya,
Despha mengalami kerentanana masa remaja. Ia sering terlibat tawuran antar
pelajar hingga beberapa kali sempat di DO (Drop
Out) dari sekolah (hal. 70).
Tak sekadar terlibat tawuran saja yang Despha lakukan
di masa remajanya, tapi juga balapan motor liar yang sering disebutnya ngetrek. Balapan motor inilah yang
membuat Despha beberapa kali mengalami tabrakan dan membuat kemampuan
penglihatannya menurun akibat benturan di bagian kepala. Dimulai dari mata kiri
yang tidak bisa melihat lagi hingga akhirnya kedua mata yang tidak bisa melihat
total.
Tak mudah bagi Despha menerima kenyataan menjadi tunanetra pada usia
16 tahun. Terlahir dalam kondisi normal namun pada saat remaja harus kehilangan
kedua penglihatannya akibat kecelakaan motor. Dari seorang yang bisa melihat
kemudian menjadi seorang tunanetra sungguh membuatnya depresi dan tenggelam
dalam pikiran-pikiran negatif. Merasa bahwa hidup sudah tidak berguna lagi,
kesepian, dan ketakutan hanya menjadi beban bagi keluarga sempat singgah
dipikirannya kala itu.
Namun pertemuannya dengan teman-teman tunanetra
lainnya di tempat pelatihan khusus tunanetra mampu membuatnya bangkit dari
keterpurukan. Ia mampu beranjak dari seorang yang depresi dengan keadaannya dan
stres dengan pergolakan batinnya menjadi seorang yang mampu mencapai
keberhasilan dalam waktu singkat. Despha mampu berubah dari seorang tunanetra
yang baru enam tahun belajar di tempat pelatihan khusus tunanetra kini telah
menjelma menjadi seorang motivator yang sudah berbicara di depan lima belas
ribu orang setiap tahunnya.
Ia juga berhasil menjadi seorang terapis dan konsultan
yang membantu proses keajaiban penyembuhan melalui sebuah terapi yang ia beri
nama Despha Therapy. Sebagai terapis,
ia telah berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pelatihan Emotional Healing Despha Therapy karena banyaknya warga yang membutuhkan proses
keajaiban penyembuhan dan ingin mempelajari terapi ini.
Ada satu hal yang membuat Despha fokus terhadap
perkembangan diri daripada menghabiskan energi dengan merasa minder dan iri
pada kelebihan orang lain. Ia menyadari dan memahami bahwa tidak ada alasan
merasa kecil dan lebih rendah dibandingkan orang lain. Baginya kesuksesan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan bukanlah monopoli orang-orang tertentu. Jika
orang lain mampu sukses dan bahagia maka yang lainnya pun juga bisa. Bila
setiap orang sudah memiliki kesadaran akan diri sendiri maka di dalam diri akan
timbul daya dorong dan semangat hidup yang penuh gairah. Siap menghadapi setiap
rintangan dan petualangan hidup dengan mental optimis dan siap mengembangkan
potensi terbaik demi menapaki tangga kesuksesan (hal. 250).
Kisah perjalanan Despha yang penuh warna yang
dituangkannya dalam buku ini mengajarkan bahwa hidup itu harus berlimpah rasa
syukur. Melalui buku ini Despha berpesan, “Ingat, hidup merupakan sebuah
proses. Kita ditakdirkan hidup untuk berjalan dan menggapai tujuan mulia. Apa
yang ingin kita rasakan dalam hidup dan apa yang benar-benar kita inginkan
setelah mencapai semua hal itu. Bersyukurlah tentang arti hidup. Dan lihatlah,
di dalam proses mencapai tujuan itu kita merasakan kebahagiaan (hal. 335-336).”
Buku ini layak dibaca oleh siapa saja. Kisah
perjalanan hidup Despha yang penuh warna mampu dijadikan motivasi untuk tidak
menyerah menjalani hidup meskipun dalam kondisi terburuk sekalipun. Hidup harus
selalu disyukuri dan selalu yakin bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap cobaan
hidup. Jangan sampai terjebak di sana karena roda kehidupan terus berjalan.
N