Judul : dr. Lo: Sang Maestro
Kehidupan
Penulis
: dr. Nadjibah Yahya dan dr.
Aviaddina Ramadhani
Penerbit : Metagraf, Creative
Imprint of Tiga SerangkaiCetakan : Pertama, April 2016
Tebal : xii+188 Halaman
ISBN : 978-602-73871-3-3
Kenangan masa kecil
melihat ayah menderita, tapi tak ditangani secara serius, membuat Lo Siaw
Ging kecil bertekad menjadi seorang dokter. Ia ingin menjadi seorang dokter
yang mampu melayani kesehatan sebaik-baiknya agar masyarakat tak perlu merana layaknya
seperti bapaknya. Kesehatan seolah kemewaan yang susah didapat.
Selepas
SMA, Lo melanjutkan ke fakultas kedokteran
Universitas Airlangga. Suatu saat ayahnya berpesan,”Kalau jadi dokter, jangan menjadi
pedagang.” Pesan singkat ini sarat makna dan kelak menjadi prinsip
Lo dalam melayani kesehatan masyarakat (halaman 14).
Seorang pedagang
selalu berpikir mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun seorang dokter tidak
sepantasnya berpikir demikian. Dokter bukanlah penjual jasa yang
memperdagangkan pelayanan. Dokter juga bukan pedagang yang mungkin mencari
keuntungan dari menjual obat kepada pasien. Dokter adalah pekerja sosial. Dia
memberikan ilmu murni untuk sebuah pelayanan. Jangan berharap kaya jika menjadi
dokter. Jangan berharap meraup keuntungan dengan melayani sebagai seorang
dokter.
Dr Lo juga terlibat
dalam penanganan wabah weil disease (leptospirosis) yang menyerang
Gunung Kidul, Yogyakarta tahun 1950-an hingga awal 1960-an. Keikutsertaan Lo
dalam misi sosial ini murni sebagai relawan. Mungkin karena sering berinteraksi
dengan penyakit tersebut, Lo pun tertular dan sempat koma selama 5 hari.
Pintu kematian seolah sudah di depan mata.
Namun, Tuhan
masih memberi kesempatan, dr Lo berhasil melewati masa krisis. Kesehatannya
berangsur-angsur membaik. Merasa diberikan kesempatan hidup kedua oleh Tuhan,
Ia bertekad mendermakan seluruh ilmunya murni untuk melayani masyarakat. Ia
ingin menebus utang nyawa pada Sang Pencipta.
Dr Lo tidak pandang
bulu dalam melayani pasien. Dia tetap memeriksa dan melayani kesehatan seorang
preman, yang sering memeras dr Lo untuk minta uang. Lo tanpa ragu menanggung
urusan keuangan saat preman tersebut harus dirawat intensif di ruang ICU. Kata
Lo, “Jangan balas kejahatan dengan kejahatan. Mungkin suatu saat orang seperti
ini masih bisa berubah menjadi orang baik” (halaman 60).
Lo memang dikenal
sebagai dokter menggratiskan biaya periksa dan obat bagi para pasien tidak
mampu. Obat resep dokter yang harus ditebus di apotek pun, dia tanggung.
Dana untuk menggratiskan para pasien diperoleh dari para donatur. Setiap orang
bisa menjadi donator asal tak minta disebut namanya. Lo menolak bantuan dari
sponsor yang minta disebut namanya. Sekali waktu tidak ada uang dalam rekening
dana sosial. Tanpa banyak pertimbangan, Lo mengeluarkan duit dari kantong
pribadi.
Selain mengulas
sosok Lo yang sangat menjunjung tinggi misi sosial, buku juga membahas
ketajaman dan ketepatannya dalam mendiagnosis suatu penyakit. Buku bisa menjadi
refleksi bagi para dokter untuk mengedepankan fungsi sosial di setiap praktik.
Bagaimanapun profesi dokter adalah kerja sosial. Sekalipun mungkin tidak dengan
menggratiskan biaya berobat seperti dr Lo, para dokter dengan cara-cara
lain dapat meringankan beban pasien miskin. Semoga dengan sikap sosial para
dokter, kualitas kesehatan rakyat meningkat.
Dimuat di Harian Nasional Edisi Sabtu-Minggu 2-3 Juli 2016
n