Judul :
Politik Akal Ukil
Penulis :
Ono
Sarwono
Penerbit :
Media Indonesia Publishing
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal :
238 Halaman
ISBN : 978-602-73495-0-6
Wayang
merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang mengagumkan dan patut
dilestarikan. Selain sebagai tontonan ternyata wayang mengandung muatan
tuntunan dan gambaran perilaku yang baik dan buruk manusia. Buku ini merupakan
bagian dari upaya melestarikan wayang di mana berbagai peristiwa di Nusantara
dikaitkan dengan tutur kata dan tingkah laku tokoh wayang.
Ada
falsafah Jawa yang berbunyi sabda
pandhita ratu tan keno wola-wali, yang artinya kurang lebih pemimpin itu bicaranya
tidak boleh mencla-mencle. Jangan sampai pula disebut pagi tempe, sore kedelai,
omongannya tidak bisa dipegang (halaman 22).
Dalam
jagat wayang banyak contoh pemimpin yang teguh akan konsistensinya. Salah satu yang
layak direnungkan adalah Raja Astina Prabu Kresnadwipayana. Kresnadwipayana
tidak pernah keseleo
lidah. Sekali bicara, ia kukuh dengan apa yang telah diucapkan. Bahkan apa pun
yang terjadi akibat pernyataannya, ia tidak pernah membatalkan. Kresnadwipayana
merupakan model pemimpin yang konsisten. Lantas, adakah pemimpin dan elite di
negeri ini yang sudi bermazhab
Kresnadwipayana?
Pada
cerita berjudul Jejak Duryudana diceritakan bahwa Duryudana menjadi penguasa di
Negara Astina melalui proses inkonstitusional. Ia menggenggam kekuasaan melalui
kudeta akal-akalan yang diotaki dan digerakkan sang paman, Trigantalpati alias
Harya Suman. Kendati palsu, kekuasaan itu ia genggam hingga benar-benar sampai
titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia dan seluruh keluarganya, Kurawa,
tumpas di tangan Pandawa.
Hikmah
yang bisa diambil pada sosok Duryudana ini adalah contoh titah haus kekuasaan.
Ia merengkuhnya dengan menyalahi pakem. Selain tidak mempunyai persyaratan baku
sebagai ahli waris raja, Duryudana juga tidak berkepribadian unggul. Laku
Duryudana seperti itu, dalam perspektif kekinian merupakan keengganan melawati
prosedur atau cari gampangnya saja karena dengan kekuasaan dan materi semuanya
bisa dibeli. Menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, itulah yang
disebut mental menerabas (halaman 38).
Dalam
kisah wayang berjudul Pudarnya Keresian Wisrawa diceritakan bahwa Wisrawa
berniat mengabdikan dirinya demi kemaslahatan semua makhluk. Langkah besarnya dengan
meninggalkan takhta Kerajaan Lokapola dan memilih menjadi resi atau orang suci.
Namun Wisrawa yang sudah menjadi resi
ternyata tidak mampu mengendalikan diri. Ia tiba-tiba kehilangan ‘keresiannya’.
Nafsu duniawi yang sudah lama tidur tiba-tiba bangun dan menggelora. Wisrawa tidak kuat
menahan gejolak asmara ketika melihat kecantikan Sukesi.
Cerita
Wisrawa ini bisa dijadikan sindiran bagi para elite dan pemimpin di negeri ini.
Gambaran Wisrawa yang menjadi resi itu artinya seperti mereka-mereka yang telah
memproklamasikan diri menjadi elite atau pemimpin di negeri ini. Idealnya
dengan predikat itu mereka sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan diri sendiri.
Namun faktanya perilaku sebagian elite dan pimpinan di negeri ini tidak lagi
sesuai dengan pakemnya. Persis Wisrawa, mereka terjerembap oleh ‘kemolekan’ duniawi. Posisinya
sebagai elite atau pimpinan itu secara terang-terangan mereka gadaikan demi
mencari kekayaan dan memenuhi nafsu-nafsu pribadi lainnya.
Menarik adalah mengungkap kisah Srikandi,
putri Prabu Drupada. Srikandi diceritakan sebagai sosok perempuan yang mahir
memanah. Keakuratannya memanah bahkan diceritakan mampu memutus sehelai rambut.
Dengan kemahirannya memanah itu, Srikandi diangkat menjadi salah satu komandan
penjaga kedaulatan Amarta. Kisah
kegemilangan keprajuritannya di antaranya ketika ia mampu mendeteksi kehadiran
musuh yang menyamar menjadi putra Pandawa dan ingin mencuri jimat Kalimasada.
Dalam dunia politik di negeri ini tokoh
Srikandi memang tidak jauh berbeda dengan karakter Susi Pudjiastuti, sosok
Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi dikenal sebagai sosok yang trengginas
memanah kapal-kapal pencuri ikan yang menghancurkan kedaulatan ekonomi nasional.
Kapal-kapal asing itu mengelabui seolah sebagai kapal Indonesia, tetapi
kenyataannya maling. Untuk melakukan tugasnya, tentunya Susi harus didukung dan
dibantu ‘priyambada-priyambada’ alias aparat negara lainnya.
Kisah-kisah dari tokoh pewayangan yang
terdapat dalam buku ini dapat menjadi pembelajaran yang efektif tentang budi
pekerti. Wayang bukan sekadar tontonan yang indah tetapi juga mengandung nilai
yang lebih hakiki dari kisah atau ceritanya. Melalui buku ini pembaca dapat
belajar mengenai budi pekerti karena manusia harus terus berusaha untuk
mempertebal sifat-sifat baik, dan sebaliknya membuang jauh-jauh sifat buruk.
n