Judul :
Gaya Filsafat Nietzsche
Penulis :
A. Setyo Wibowo
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal :
440 Halaman
ISBN :
978-979-21-5131-2
Friedrich Wihelm
Nietzsche hidup di ujung abad modern. Dia lahir di Rocken Jerman Timur pada
tanggal 15 Oktober 1844 di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Nietzsche
sudah harus menjadi yatim pada usia 5 tahun. Sejak saat itu ibu,
kakak-kakaknya, nenek, dan tantenya yang memelihara dan mendidiknya. Ia dikenal
sebagai filsuf penting Jerman yang banyak mengkritik dan memprovokasi
kebudayaan Barat pada masanya. Salah satu pemikiran Nietzsche yang terkenal
adalah pemikirannya tentang kebenaran. Filsafat cara memandang kebenaran
menurut Nietzsche lebih dikenal dengan istilah perspektivisme.
Sering kita
sulit untuk mempercayai suatu kebenaran karena adanya perbedaan sudut pandang.
Tingkat kepercayaan memerlukan wawasan luas dan keyakinan yang mantap terhadap
suatu kebenaran yang dipegang. Menurut Nietzsche, orang yang hanya mempercayai
suatu kebenaran dan menerima kebenaran tersebut lalu menegasikan yang dianggap
batil adalah individu yang lemah. Dalam artian orang tersebut tidak mampu
beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada (hal 238).
Menerima
kebenaran saja tidaklah cukup karena ini hanya berarti menolak sisi hidup lain
yang pada hakikatnya merupakan penyempurnaan kehidupan itu sendiri. Terkadang
kebenaran sulit untuk dipastikan karena kepastian hanya dibuat oleh orang yang
mempercayainya saja. Orang yang tidak mempercayainya sudah pasti menolak
kebenaran tersebut. Jadi di sini kebenaran itu tergantung bagaimana
masing-masing individu menginterpretasikannya dan masalah interpretasi ini
tidak dapat dilepaskan dari perspektif. Menurut sang filsuf karena kebenaran
tergantung pada perspektif tertentu maka setiap klaim kebenaran hanya bersifat
imanen.
Bagi Nietzsche,
ada keterkaitan antara suatu kepercayaan tertentu dengan kebutuhan untuk
percaya dari suatu subjek di mana itu menunjukkan kekuatan dan kelemahan.
Contohnya konsep agama tertentu yang membuat orang rela menjadi pembunuh. Atau
pada kasus lain di mana Tuhan dipercaya manusia saat putus harapan karena berhadapan
dengan persoalan yang dirasa di luar kemampuannya.
Dahulu banyak
orang pepercaya pada objek-objek tertentu seperti kepercayaan pada gunung,
binatang buas, bulan, dan yang luar biasa dari kepercayaan tersebut adalah
mampu menghindarkan dari berbagai musibah. Hal ini merepresentasikan pengakuan
kelemahan manusia terhadap berbagai masalah tersebut. Yang terlihat jelas dari
hal ini adalah bahwa begitu kekuatan manusia meningkat maka kepercayaannya juga
berubah.
Nietzsche
mengungkapkan bahwa semua fanatisme merupakan pengungkapan kelemahan manusia
itu sendiri. Tidak hanya fanatisme terhadap suatu agama saja tapi bisa juga
fanatisme dalam filsafat, patriotisme, bahkan dalam ateisme karena fanatisme
memang bisa berbentuk apa saja. Satu hal yang jelas di sini bahwa manusia
selalu membutuhkan pegangan dan tuntutan yang memerintah dari luar diri yang
pada akhirnya melahirkan fanatisme. Fanatisme muncul dari kebutuhan akan
pegangan hidup. Ini untuk menjaga agar dirinya tetap eksis dan tertata di
tengah-tengah kenyataan yang menurut Nietzsche ambigu, plural, dan selalu
menjadi tidak pasti.
Bahkan dalam
sains pun tetap ada fanatisme yang mengklaim kebenaran tunggal. Fanatisme sains
yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan
mengorbankan kepercayaan lainnya. Ambisi sains dalam mencari kebenaran
sebenar-benarnya ini dipandang oleh Nietzsche sebagai keinginan mati-matian
akan kematian. Hal ini terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan
ekologis (hal 231).
Nietzsche
sendiri diketahui sebagai tokoh eksistensialis yang ateis. Dia beranggapan
bakwa percaya pada Tuhan adalah pengakuan akan kelemahan manusia itu sendiri.
Apalagi percaya pada hal lain selain Tuhan seperti gunung dan benda lainnya.
Baginya, Tuhan yang digambarkan hanyalah suatu bentuk proyeksi kesadaran
manusia terhadap cinta atau kekuatan yang terdapat di dalam dirinya sendiri.
Pandangan
epistemologinya tentang kebenaran yang diungkapkan Nietzche memang
kontroversial. Hal ini sulit untuk diterima oleh mereka yang beragama atau
penganjur ideologi. Di Indonesia sendiri terkadang kepercayaan dijadikan
sebagai bahan untuk menciptakan propaganda demi kepentingan kelompok tertentu
tapi setidaknya paradigma Nietzche
tersebut tetap memiliki manfaat yaitu untuk melihat sisi terdalam suatu
kebenaran yang memang kerap diperjuangkan oleh yang mempercayainya. Terkadang
memperjuangkan kebenaran tanpa disadari didasari akan kebutuhan ekonomi,
politis, psikologi, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Cara yang digunakan untuk
memperjuangkan kebenaran pun terkadang salah dan hal inilah yang tidak benar.
Dimuat di Radar Sampit edisi 29 Oktober 2017
m