Judul :
Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan
Penulis :
Budi
Hardiman
Penerbit :
Kanisius
Cetakan : 2017
Tebal :
159 Halaman
ISBN :
978-979-21-3083-6
Di
Indonesia masih sering kita jumpai kasus pelanggaran atas Hak Asasi Manusia
(HAM). Kasus yang paling hangat adalah kasus seorang suami di Tangerang yang
membunuh istri dan kedua anaknya sendiri. Suami tersebut telah mengambil hak
hidup dari istri dan anak-anaknya sendiri. Kasus pelanggaran HAM berupa bullying, kekerasan terhadap anak dan
perempuan pun masih sering dijumpai di Indonesia. Padahal HAM merupakan hak
yang dimiliki setiap orang sejak dalam kandungan hingga lahir dan berlaku seumur
hidup serta tidak seorang pun boleh mengambilnya. Kasus-kasus pelanggaran HAM
yang terjadi terkadang berbenturan dengan nilai-nilai agama dan kebudayaan. Hal
inilah yang coba dibahas oleh penulis yang merupakan seorang filosof Indonesia
dalam buku berjudul Hak-hak Asasi
Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan.
Awalnya, HAM dipahami sebagai wujud dari paham
liberalisme Barat dan individualisme yang hanya digunakan untuk memperjuangkan
hak-hak individualistik saja. Namun karena pelanggaran HAM terjadi di banyak
tempat dan dirasakan oleh banyak orang membuat lahirnya pemikiran tentang
kewarganegaraan dunia. Sejak itulah konsep individualisme yang awalnya menjadi
patokan seolah diperumit oleh modernitas. Modernitas ini menyajikan berbagai
persoalan rumit yang melecehkan hak-hak manusia yang kodrati seperti hak
memperoleh kebebasan, hak untuk hidup, dan hak untuk memperoleh keamanan.
Hal ini
membuat lahirnya pemikiran tentang HAM yang menjunjung martabat kemanusiaan
yang kemudian dirumuskan ke dalam bahasa hukum. Dalam hal ini semua manusia
menurut kodratnya memiliki kebebasan yang sama, otonom, dan memiliki hak-hak
tertentu sejak lahir (hal 46). Meskipun kerangka teoritis HAM berhasil
dirumuskan dalam bahasa hukum namun secara praktis pemikiran tersebut masih
belum berjalan. Pelanggaran-pelanggaran HAM justru semakin tidak terbendung.
Kondisi ini
menuntut adanya HAM universal. HAM yang mampu melindungi seluruh masyarakat
agama yang seringkali menjadi pemicu pelanggaran HAM di tengah arus modernitas.
Pada akhirnya dirumuskan HAM universal yang dideklarasikan pada 10 Desember
1948 oleh PBB. Terdapat sejumlah kebebasan yang dilahirkan dari pemikiran HAM
universal ini, yaitu hak mendapatkan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta
kebebasan beragama.
Di sisi
lain polemik sering terjadi bila HAM dikaitkan dengan agama. Contohnya saat
membicarakan mengenai HAM dan kaitannya dengan agama Islam. Pemikiran tentang
HAM memang berasal dari Barat. Namun klaim Islam bahwa Islamlah yang mengenal
dan mempraktikkannnya jauh sebelum Barat melakukannya mengacu tidak pada
pemahaman konseptual yang sama (hal 59). Tidak bisa disangkal bahwa
konsep-konsep utama yang membentuk rumusan HAM
seperti individu, otonomi, dan hak-hak kodrati berasal dari tradisi
pemikiran Barat.
Memang
benar bahwa konsep-konsep kunci tersebut pada dasarnya diambil dari kebudayaan
Kristiani Barat. Namun HAM merupakan
konsep modern yang terkadang dianggap sekularistis dan anti Kristen. HAM yang
ada hanya menjadi persembunyian orang-orang Barat karena sama sekali tidak
mencerminkan gambaran manusia. Bagi kelompok Islam hal ini juga memicu
resistensi di kalangan mereka. Islam juga menganggap HAM sebagai produk
sekularisme dan liberalisme Barat.
Untuk itu
pada tahun 1990 negara-negara Islam memaklumkan The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam deklarasi ini
ditetapkan bahwa hak-hak manusia dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Meskipun demikian tetap saja muncul anggapan bahwa HAM
bertentangan dengan hukum Allah sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri
dalam upaya penegakan HAM.
Pada intinya Buku karya Budi Hardiman ini
membahas lima tema polemik tentang HAM, yaitu polemik antara hak-hak asasi
universal dengan republikanisme, antara hak-hak asasi versi Barat dengan versi
Islam, antara hak-hak individual dalam liberalisme dengan hak-hak kolektif
dalam masyarakat dengan bermacam-macam kebudayaan, antara hak-hak asasi manusia
dengan nilai-nilai Asia, dan terakhir antara hak-hak asasi manusia dengan
kewajiban-kewajiban asasi manusia. Melalui bukuini, tepatnya pada halaman 121,
Budi Hardiman juga membantah tesis yang menyebutkan bahwa hak-hak asasi manusia
tidak cocok dengan kebudayaan Asia.
Dimuat di Radar Sampit Edisi 22 Oktober 2017
m
No comments:
Post a Comment
Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian