Seorang bapak datang ke kantor
tempatku bekerja. Melihat wajahnya aku langsung tahu kalau dia orang Korea. Dia
berdiri beberapa menit di depan papan pengumuman yang terpampang di bagian
depan kantor. Entah mengerti atau tidak dengan apa yang sedang dibacanya karena
semuanya dalam tulisan Indonesia, namun yang jelas dia tampak serius membaca
apa yang tertulis di papan tersebut.
“Annyounghaseyo, selamat pagi,” kata
orang Korea yang datang tersebut
Aku
yang sedikit bisa beberapa kata dalam bahasa Korea pun menjawab, “Annyounghaseyo.”
“Anda
Pak Han,” tanyaku padanya.
Aku
sudah tahu kalau orang Korea ini bernama Han Jeong Hee karena sebelumnya bosku
sudah memberitahuku kalau ada murid Korea baru yang akan datang. Kata bosku dia
adalah seorang pengusaha yang berniat membuka restoran Korea di Jakarta. Dia
sedikit bisa berbahasa Indonesia karena sudah belajar secara otodidak selama 3
bulan.
“Ya,
betul saya nama Han,” katanya.
“Anda
baru pertama kali datang ke Jogja?” tanyaku lagi.
“Ya,
ini pertama saya datang ke Jogja,” jawabnya.
“Apa
minuman Indonesia orang suka? Indonesia orang suka minuman ini?” tanya dia
padaku sambil memberikan sebotol minuman merk terkenal padaku.
Aku
bisa mengerti apa yang dikatakannya meskipun susunan kalimatnya terbalik. Aku
sudah terbiasa berbicara dengan orang Korea yang baru awal-awal belajar bahasa
Indonesia.
“Ya,
banyak orang Indonesia menyukai minuman ini,” jawabku pelan agar dia mengerti
yang aku katakan.
Itu
kejadian ketika pertama kali aku bertemu dengan Pak Han. Setelah 2 bulan dia belajar bahasa Indonesia di
tempatku bekerja, dia sudah cukup lancar berbicara menggunakan bahasa Indonesia
karena dia sangat aktif dalam berbicara. Pernah suatu kali dia bercerita di
depan saya dan Guru Endah yaitu guru yang mengajar Pak Han. Topik yang dia
ceritakan sederhana, yaitu tentang makhluk kecil penghisap darah alias nyamuk.
“Sasa
dan Guru Endah, kemarin seekor nyamuk masuk ke kamar kost saya. Nyamuk itu
menghisap darah saya kemudian pergi begitu saja,” ceritanya pada kami.
“Hei
nyamuk, mau kemana? Jangan pergi dulu! Anda belum membayar darah saya. Ayo bayar
dulu 10.000 won,” lanjut Pak Han.
Saya
dan Guru Endah tertawa mendengar cerita Pak Han yang membuat nyamuk itu
seolah-olah bisa berbicara. Juga karena Pak Han menyebut “Anda”pada nyamuk.
Kata
Pak Han nyamuk itu mengatakan “Saya tidak mau bayar, saya sedang buru-buru,
jadi saya pergi dulu.”
“Baiklah,
kalau ‘Anda’ tidak mau membayar, saya akan mengantar ‘Anda’ ke surga dengan
tenang,” kata Pak Han lagi.
Plokkk...(sambil
memperagakan menepuk nyamuk dengan kedua tangan). “Akhirnya ‘beliau’ pergi ke
surga,” lanjut Pak Han.
“Jadi
Pak Han membunuh nyamuk itu?” tanyaku kepada Pak Han.
“Tidak
membunuh, saya hanya membantu ‘beliau’ pergi ke surga dengan tenang,” jawab Pak
Han sambil tertawa
“Pak
Han, kata anda dan beliau tidak bisa
digunakan pada nyamuk ataupun hewan lainnya. Kata anda digunakan sebagai kata ganti untuk orang ke-2 dalam
situasi formal sedangkan kata beliau adalah kata ganti untuk orang ke-3 dan
digunakan karena seseorang sangat menghormati orang ke tiga tersebut,” kata
Guru Endah menjelaskan kekeliruan yang dibuat Pak Han dengan pelan agar dia
bisa memahaminya.
“Saya
tahu itu Guru Endah, karena nyamuk itu sudah mati jadi saya menyebut nyamuk itu
dengan beliau sebagai penghormatan,” jawabnya sambil tertawa
“Saya
tau itu sebenarnya tidak boleh, itu hanya bercanda saja,” lanjutnya sambil
terus tertawa
Ha..ha..ha.............saya
dan Guru Endah pun ikut tertawa
Meskipun
Pak Han adalah pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan di Korea,
namun ia bukanlah orang yang kaku. Dia orang yang suka bercanda dengan
cerita-ceritanya yang menarik.
Suatu
ketika saya bertemu Pak Han di Kantor Imigrasi Yogyakarta. Saat itu saya sedang
mengurus perpanjangan visa salah satu murid Korea sedangkan Pak Han akan
melakukan sesi wawancara dan foto untuk perpanjangan visa juga. Namun kami
tidak datang bersama karena Pak Han diantar bosku.
“Pak
Han, Guru Kim,” teriakku keras memanggil Pak Han dan juga bosku ketika aku
melihat mereka memasuki pintu kantor Imigrasi Yogyakarta.
Saking
kerasnya aku memanggil mereka, orang disekitar kami langsung melihat ke arah kami.
Sementara
bosku pergi ke loket untuk menyerahkan beberapa berkas surat perpanjangan visa,
Pak Han datang mendekatiku dan berkata sambil berbisik “Sasa, jangan panggil
saya Pak, panggil saja Han atau Mas Han.”
“Ha.............,”
teriakku spontan.
“Saya
masih muda,” kata beliau lagi
Ya,
meskipun usianya sudah 43 tahun namun dia masih merasa muda dan lebih suka
dipanggil Han saja. Namun sebagai orang Indonesia saya merasa tidak sopan kalau
harus memanggilnya dengan nama saja mengingat usia saya 23 tahun, jauh
dibawahnya.
Cerita
tentang nyamuk tidak hanya berakhir disitu saja, dilain hari Pak Han kembali
mengangkat topik nyamuk sebagai bahan ceritanya.
“Guru
Endah dan Sasa, tadi pagi datang lagi seekor nyamuk ke kamar saya,” kata Pak
Han, “Nyamuk, untuk apa kamu datang ke kamarku?”
“Saya
haus dan lapar, bolehkah saya menghisap darah Anda sedikiiiiiitttttt saja?” jawab
nyamuk kepada Pak Han.
“Saya
juga lapar karena belum makan pagi, cepatlah pergi nyamuk atau saya akan kirim
‘Anda’ ke surga,” lanjut Pak Han.
“Kemudian
apa yang terjadi Pak Han?” tanyaku padanya.
“Pak
Han pasti langsung mengirim nyamuk itu ke surga juga ya?” tanya Guru Endah
menebak.
Pak
Han pun langsung menggulung celana panjangnya yang sebelah kanan sampai hampir
mendekati lutut dan juga menggulung lengan bajunya.
Tampaklah
bentol-bentol merah di kaki dan lengannya yang putih khas warna kulit orang
Korea. Aku hitung ada 6 bentolan merah besar di kaki dan 3 bentolan merah besar
di lengan yang diperlihatkannya. Mungkin karena warna kulitnya yang putih itu
sehingga bentol-bentol itu terlihat merah sekali.
“Lho,
itu karena digigit nyamuk? Pak Han tidak mengirim nyamuk itu ke surga?” tanyaku
lagi.
“Ya,
saya mengirim nyamuk itu ke surga, tapi yang terjadi setelah itu ...
“Apa
Pak Han yang terjadi setelah itu?” tanyaku penasaran.
“Ini
Pak Han obat untuk gigitan nyamuk, silahkan dioleskan untuk menghilangkan
gatal” kata Guru Endah sambil menyerahkan obat oles untuk mengatasi gigitan
nyamuk.
“Setelah
itu ..., tunggu, tunggu sebentar ya!” kata beliau sambil membuka kamus
elektronik dari smart phone miliknya.
“Menyerbu,
menyerbu...” ucap Pak Han lirih.
“Saya
lanjutkan..., setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa
....
“Tunggu
sebentar ya!” katanya lagi sambil membuka kamus elektronik kembali.
“Ha...,
setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa penjulu,” lanjut
Pak Han.
“Penjuru
Pak Han,” kata Guru Endah mengoreksi pengucapan Pak Han.
“Penjuru...,
penjuru..., ini sudah betul?” tanya Pak Han pada kami.
“Ya,
sudah betul, Pak Han pintar sekali........” jawab Guru Endah
“Ya,
saya pintar sekali, saya sudah tahu,” jawabnya dengan sedikit bercanda.
“Wah,
Pak Han sombong sekali” kataku dengan bercanda juga
“Ha...ha...ha...
(kami bertiga pun tertawa bersama).
Empat
hari setelah cerita Pak Han itu, akhirnya Pak Han kembali ke Korea karena ada urusan
urgent di perusahaannya di Korea.
Sebelum keberangkatannya ke Korea, dia sempat berpamitan langsung padaku, Guru
Endah, dan Guru Kim.
“Pak
Han sudah berpamitan pada ‘beliau’?” tanyaku pada Pak Han
“beliau?”
“Nyamuk-nyamuk
itu” kataku lirh
“O...,
ya... saya sudah berpamitan pada ‘beliau’, ‘beliau’ mengatakan kalau akan
melindukan saya” kata beliau sambil tertawa.
“Merindukan,
Pak Han,” kataku mengoreksi pengucapan beliau
“Ya,
maksudnya itu tapi lidah sulit mengucapkan,” katanya yang kemudian tertawa.
“Ha...ha...ha...,”
aku pun ikut tertawa, tawa terakhir bersama beliau yang memanggil nyamuk dengan
‘beliau’.
***
Sudah
satu bulan sejak Pak Han meninggalkan Indonesia untuk kembali ke Korea. Kini di
kantorku tak ada lagi beliau yang memanggil nyamuk dengan ‘beliau’. Tak ada
lagi cerita tentang nyamuk-nyamuk versi Pak Han. Hingga suatu pagi saya
mengobrol dengan Ibu Kim, seorang murid Korea juga di kantorku yang juga
merupakan teman Pak Han.
“Ibu
Kim, apa Pak Han sering mengirim pesan kepada Ibu Kim?” tanyaku pada Ibu Kim.
“Ya,
dua hari yang lalu Pak Han mengirim pesan kepada saya. Pak Han memberi tahu
saya kalau sudah sebulan ini dia tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pak Han
berkata kepada saya, “Kakak, bagaimana ini....., saya lupa bahasa Indonesia.”
“Ha....”