Judul :
Sebiru Safir Madagascar
Penulis :
Haya
Nufus
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal :
288 Halaman
ISBN : 978-602-1614-53-2
Adalah Mirindra,
gadis kecil dan miskin yang berkulit hitam dan berambut keriting. Ia berasal
dari pelosok Madagascar. Sebuah negeri yang tidak banyak dikenal orang. Di usianya
yang baru menginjak tujuh tahun ia harus menerima nasibnya menjadi anak yatim. Ibunya
meninggal dunia ketika akan melahirkan adiknya. Semenjak itu ia hanya tinggal
bersama ayahnya yang menjadi penambang batu mulia di sebuah pertambangan asing
yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya.
Mirindra
bersekolah di Akany Tafita, sebuah sekolah asrama yang menampung anak-anak miskin
di sekitar perbukitan Sahasoa. Akani Tafita membekali para siswanya
keterampilan hidup agar saat lulus nanti mereka dapat hidup mandiri. Sekolah
ini dibesarkan oleh perempuan tua bernama Tinah. Dengan dibantu Irene yang
berusia lebih muda darinya ia bertanggungjawab di asrama. Sedangkan untuk
urusan kebersihan dan perkebunan ia dibantu oleh lelaki tua yang bernama Hiel
(halaman 35). Para pengajar di Akani Tafita telah melecut semangat Mirindra
untuk bermimpi besar. Guru-guru ini adalah orang yang berkarakter, berdedikasi
tinggi, dan juga penuh kasih sayang.
Mirindra adalah
anak yang cerdas. Ia telah mampu menguasai empat bahasa dunia. Tinah dan para
guru di Akani Tafita terus-menerus melecut semangat Mirindra untuk bermimpi
besar. Ia terus tumbuh bersama mimpi-mimpinya itu. Meskipun Josse yang
merupakan adik Tinah dan sangat sombong selalu mengejeknya namun semangatnya
untuk meraih mimpinya tidak pernah luntur. Ia ingin terus bersekolah agar bisa
bermanfaat untuk negerinya. Josse memang sering mengatakan bahwa Mirindra tidak
punya bekal apa pun untuk sukses dan selalu mengingatkan bahwa ia hanyalah anak
miskin.
Suatu ketika
Tinah memutar tentang kisah yang melecut semangat Mirindra untuk terus
bersekolah. Kisah itu tentang seorang perempuan bernama Maryam yang berasal
dari Afganistan. Negaranya sedang dalam keadaan perang sehingga pendidikan,
ekonomi bahkan nyawa tidak dihargai pada waktu itu. Itulah mengapa Maryam tidak
diperbolehkan sekolah saat itu. Saat itu hanya anak laki-laki saja yang
diperbolehkan bersekolah.
Orang tuanya pun
tidak mampu membeli buku untuknya karena saking miskinnya. Apalagi mendatangkan
guru ke rumah. Pada akhirnya Maryam belajar dengan cara mencuri dengar dari
balik tembok. Tidak jarang ia diusir karena melakukan hal itu. Tapi pantang
baginya menyerah, ia terus meminjam buku dan harus bersembunyi saat membaca
buku dari Barat karena hal itu dilarang oleh penguasa. Berkat keteguhannya
dalam belajar ia berhasil mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah bahkan ia
berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Adelaide University,
Australia.
Mirindra sangat
terinspirasi dengan perjuangan Maryam. Ia pun bertekad merubah hidupnya
meskipun harus terseok-seok. Ia ingin masuk kuliah meskipun terbentur biaya.
Sekali lagi ia tidak mau menyerah pada keadaan. Hatinya telah mendendam pada
kegagalan dan menolak untuk jatuh. Dendam itu yang secara tidak sadar telah
menggerakkan kakinya untuk kuat menempuh berkilo-kilometer jalanan terjal menuju
sekolah.
Dendam itu juga yang
membuatnya berlaku kejam pada dirinya sendiri. Ia mengurangi tidur, membaca
semua buku, memeras isi kepala demi memecahkan rumus-rumus, dan mengulang
dengan teliti semua soal yang telah diajarkan di sekolah. Satu yang Mirindra
yakini, meskipun miskin ia memiliki harta bernama semangat. Ia tidak akan
membiarkan semangat itu pudar. Ia mengatakan pada dirinya sendiri, “Aku
berjuang! Dan aku berhak menang.”
Cerita dalam
novel ini mampu menggambarkan secara nyata bahwa hidup ini memang tidak mudah.
Banyak orang harus berusaha sangat keras untuk bisa meraih mimpi. Meskipun
demikian, orang yang kesulitan, asalkan dia mau berusaha, maka ia akan
mendapatkan apa yang diimpikan. Itulah yang coba disampaikan penulis melalui
novel ini. Selain itu, novel yang juga membahas sedikit tentang penemu Madagascar yang tidak lain adalah
orang Indonesia ini juga menggambarkan besarnya kasih sayang seorang ayah
kepada putrinya. Bahasa yang digunakan begitu menyentuh hingga mampu membuat
pembaca tidak bisa membendung air mata.
Dimuat di Satelitpost edisi 11 September 2017
j
No comments:
Post a Comment
Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian