Wednesday, April 6, 2016

Resensi Bukuku Dimuat di Koran Jakarta Lagi


     Pagi ini tanggal 7 April 2016 dengan penuh berdebar-debar saya membuka website Koran Jakarta untuk mengecek resensi siapa yang dimuat pada hari ini. Tidak saya sangka bahwa resensi sayalah  yang dimuat. Rasanya sungguh tak menyangka kalau resensi saya akan dimuat secepat ini, pasalnya saya mengirim resensi ke Redaksi Perada Koran Jakarta pada tanggal 5 April 2016 yang berarti hanya 3 hari sebelum resensi ini dimuat. 
     Membaca buku adalah hobi saya sejak kecil dan setiap buku yang saya baca selalu saya buat resensinya dan mengirimkannya ke berbagai media massa yang menerima kiriman berupa resensi, salah satunya Koran Jakarta. Oh ya kalau resensi berhasil dimuat di Koran Jakarta maka kita akan mendapatkan honor. Honornya cukup lumayan karena bisa untuk membeli 5-6 buku baru.  Kebetulan ada beberapa buku yang ingin saya beli, salah satunya buku berjudul Inspirasi Paman Sam yang ditulis mentor saya di sekolah TOEFL yaitu Kak Budi Waluyo.
     Buku yang saya resensi dan berhasil dimuat di Koran Jakarta kali ini merupakan buku gratisan karena buku ini saya dapatkan dari acara Kick Andy di Metro TV. Saya adalah penggemar berat acara ini. Menurut saya dari sekian banyak program acara di televisi hanya inilah yang paling banyak memberikan tuntunan karena semua kisah dalam setiap episodenya selalu mampu menginspirasi penonton. Bagi yang ingin tahu buku apa yang saya resensi kali ini dan ingin membaca resensi saya ini silakan disimak di bawah ini. Sedangkan yang ingin membacanya di website Koran Jakarta silakan klik di sini. Selamat membaca!

Lakon Anak Miskin Membangun “Krisna” Pusat Oleh-oleh Bali

 



Judul         : Ajik Cok
Penulis      : A. Bobby Pr
Penerbit    : Kompas
Cetakan    : Pertama, 2015
Tebal        : 251 Halaman
ISBN        : 978-979-709-983-1


     Buku ini menceritakan tentang kisah nyata keberhasilan seorang Gusti Ngurah Anom (Ajik Cok), seorang  yang saat kecil dikenal miskin, bodoh, dan nakal. Tapi setelah dewasa  mampu keluar dari kemiskinan. Cok, begitu dia biasa disapa, hidup di tengah keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai petani penggarap. Ibunya, istri kedua  hanya berdagang kue di pasar.
   Cok saat  di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata Seririt dihadapkan pada pilihan sulit ayahnya, Gusti Putu Raka. Ayahnya yang sudah tua tidak sanggup lagi menggarap sawah dan tidak mampu membiayai sekolah Cok. Ayah Cok memberi pilihan,  kalau masih ingin sekolah,  Cok harus membantu menggarap sawah (halaman 5-6).
   Tidak ingin hidup dililit kemiskinan terus, Cok akhirnya memutuskan pergi. Baginya lebih baik meninggalkan kediaman orangtua untuk mencoba keberuntungan daripada tetap tinggal dan bergulat dengan kemiskinan. Tekad yang begitu besar mendorongnya  pergi ke Denpasar hanya  berbekal baju dan celana yang melekat di badan.
    Setahun di Denpasar dia bekerja sebagai tukang cuci mobil pegawai dan tamu hotel. Cok  pun rela tidur di emperan hotel dan pos satpam. Cok menyadari profesi  tukang cuci mobil bukanlah pekerjaan mudah. Penghasilannya memang lumayan, tapi udara malam dan berkubang dengan air dingin membuat tubuhnya “rontok.” Ia sempat  demam tinggi, persendian terasa kaku dan sulit digerakkan (halaman 61).
    Dia lalu bekerja  di sebuah perusahaan garmen. Namun Cok hanya bertahan dua hari. Dia lalu bekerja di perusahaan konveksi milik Made Sidharta. Kerajinan dan ketekunan Cok menarik perhatian Made Sidharta sehingga  dipercaya  tugas luar seperti membeli bahan-bahan keperluan konfeksi atau mengantar barang.
     Empat tahun bekerja dengan Made Sidharta membuatnya paham masalah konveksi dari A sampai Z, dari mencari proyek, pembelian bahan, hingga produksi dan pemasaran. Cok memutuskan  usaha konveksi secara mandiri bernama “Cok Konveksi.” Untuk memperkenalkan perusahaannya, dia  berkeliling menggunakan sepeda motornya. Dia menyebarkan brosur ke berbagai tempat seperti Denpasar, Klungkung, hingga Karang Asem. Dengan brosur, Cok mendatangi sekolah, perusahaan, dan berbagai tempat lain. Perlahan-lahan usahanya mulai dikenal banyak orang sehingga pesanan pun berdatangan.
     Namun peristiwa Bom Bali 1 yang memakan korban 200  lebih berimbas pada bisnisnya. Roda konfeksi melambat. Setahun menjelang peringatan Bom Bali 1 tiba-tiba segunung harapan muncul karena ada  pesanan 40.000 kaus dalam waktu dua pekan. Pesanan sebanyak itu sebenarnya sulit dipenuhi, namun  mampu dirampungkan  (halaman 116).
   Tidak puas dengan usaha konveksi saja, Cok pun akhirnya membuka toko oleh-oleh “Krisna.” Di sinilah Cok bersama istrinya Ketut Mas mengalami banyak kesulitan seperti berkali-kali ditolak supplier. Bahkan tak jarang mereka mendapat kata-kata penolakan yang cukup pedas hingga membuat Ketut Mas pulang  menangis. 
    Namun dengan usaha keras mereka akhirnya ada supplier yang bergabung. Berkat promosi yang efektif, toko berjalan baik. Pengunjung semakin ramai. Setahun setelahnya, Cok membuka Krisna 2. Setahun dari pembukaan Krisna 2, dibuat Krisna 3. Tahun 2010 Cok membuka Krisna 4 dan awal 2015 membuka Krisna 5.
    Buku ini menceritakan  jatuh bangun Cok  membangun usaha. Kisah percintaan Cok dengan Ketut Mas saat menghadapi masa-masa sulit bersama pun turut diulas. Pembaca dapat belajar  ilmu bisnis Aji Cok yang menggunakan teori: lihat, tiru, dan kembangkan.


Diresensi Tanti Endarwati, lulusan Stikes Surya Global Yogyakarta



NB:  
Begitu saya tahu resensi saya ini dimuat di Koran Jakarta saya langsung memberitahukannya ke pihak penerbit, yaitu penerbit buku Kompas. Dua hari kemudian tepatnya tanggal 9 April saya mendapat sebuah paket dari penerbit buku Kompas yang berisi 1 buah buku baru terbitan penerbit buku Kompas berjudul Hartini: Memoar Seorang Perempuan dengan HIV dan sepucuk surat cinta dari penerbit ini. Kiriman buku ini merupakan reward dari resensi saya ini. Ini dia paket bukunya:





Paket 1 buku dan sepucuk surat cinta dari penerbit buku Kompas


.