Tuesday, May 17, 2016

Belajar Itu Tak Kenal Usia


     Belajar sepanjang hayat adalah ungkapan yang sering kita dengar atau kita baca. Ungkapan ini bermakna bahwa belajar tidak mengenal usia karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak lepas dari belajar seperti belajar bersabar, belajar menghargai, dan belajar semua hal. Namun bila belajar berkonotasi “sekolah” maka hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan seseorang. 
    Sayangnya tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar di sekolah karena berbagai alasan. Salah satunya karena tidak ada biaya. Hal inilah yang dialami Sukiran warga Dusun Magirejo RT 02 RW 02, Ngalang, Gedangsari, Gunung Kidul 40 tahun silam sehingga hanya bisa tamat SD saja. Namun keinginan dan semangatnya untuk melanjutkan sekolah terus ada. Hal ini dibuktikannya dengan mengikuti program kejar paket B yang setara dengan SMP. 
    Sukiran tahun ini sudah memasuki usia 52 tahun. Meskipun demikian ia tetap semangat mengikuti Ujian Nasional Paket B yang diadakan tanggal 9-11 Mei 2016 di SD Negeri Buyutan, Gedangsari, Gunung Kidul. Hari Senin adalah jadwal ujian Bahasa Indonesia dan PKn. Hari Selasa adalah jadwal ujian Matematika dan IPS sedangkan Rabu jadwal ujian untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan IPA. 
    Mengikuti program kejar Paket B adalah keinginannya sendiri karena didorong keinginan untuk menambah ilmu. Keinginannya ini bisa diwujudkan setelah berhasil mengantarkan anak pertama dan keduanya meraih pendidikan tinggi.  
   Anak pertamanya bernama Wati Endang Jumarni sekarang sedang menempuh pendidikan S2 Jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan anak keduanya yang bernama Fitri Astuti sedang menempuh pendidikan S1 Jurusan Manajemen di STIM YKPN sementara anak terakhirnya yang bernama  M. Ilham Fahrudin masih duduk di bangku SD. 
    Selama ini Sukiran belajar di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) di Gunung Kidul dan masuk kelompok dewasa dengan dibimbing oleh beberapa guru. Kegiatan belajar tidak penuh, hanya 3 kali dalam seminggu.  
    Setelah selesai mengikuti ujian Paket B kini ia berharap agar dirinya dan teman-temannya lulus ujian Paket B dan bisa melanjutkan ke program kejar Paket C yang setara SMA. Bagi Sukiran pendidikan adalah hal yang sangat penting dan usia bukanlah alasan untuk berhenti meraih pendidikan. Untuk itulah ia berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku kuliah. Ia yakin bahwa dengan pendidikan yang tinggi akan mampu memberikan manfaat bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain di sekelilingnya.

 Citizen Journalism Tribun Jogja Edisi  17 Mei 2016


, 

Monday, May 16, 2016

Ingatanku tentang Pak Han


Seorang bapak datang ke kantor tempatku bekerja. Melihat wajahnya aku langsung tahu kalau dia orang Korea. Dia berdiri beberapa menit di depan papan pengumuman yang terpampang di bagian depan kantor. Entah mengerti atau tidak dengan apa yang sedang dibacanya karena semuanya dalam tulisan Indonesia, namun yang jelas dia tampak serius membaca apa yang tertulis di papan tersebut. 

Annyounghaseyo, selamat pagi,” kata orang Korea yang datang tersebut

Aku yang sedikit bisa beberapa kata dalam bahasa Korea pun menjawab, “Annyounghaseyo.”

“Anda Pak Han,” tanyaku padanya.

Aku sudah tahu kalau orang Korea ini bernama Han Jeong Hee karena sebelumnya bosku sudah memberitahuku kalau ada murid Korea baru yang akan datang. Kata bosku dia adalah seorang pengusaha yang berniat membuka restoran Korea di Jakarta. Dia sedikit bisa berbahasa Indonesia karena sudah belajar secara otodidak selama 3 bulan.

“Ya, betul saya nama Han,” katanya.

“Anda baru pertama kali datang ke Jogja?” tanyaku lagi.

“Ya, ini pertama saya datang ke Jogja,” jawabnya.

“Apa minuman Indonesia orang suka? Indonesia orang suka minuman ini?” tanya dia padaku sambil memberikan sebotol minuman merk terkenal padaku.
  
Aku bisa mengerti apa yang dikatakannya meskipun susunan kalimatnya terbalik. Aku sudah terbiasa berbicara dengan orang Korea yang baru awal-awal belajar bahasa Indonesia.

“Ya, banyak orang Indonesia menyukai minuman ini,” jawabku pelan agar dia mengerti yang aku katakan.

Itu kejadian ketika pertama kali aku bertemu dengan Pak Han. Setelah  2 bulan dia belajar bahasa Indonesia di tempatku bekerja, dia sudah cukup lancar berbicara menggunakan bahasa Indonesia karena dia sangat aktif dalam berbicara. Pernah suatu kali dia bercerita di depan saya dan Guru Endah yaitu guru yang mengajar Pak Han. Topik yang dia ceritakan sederhana, yaitu tentang makhluk kecil penghisap darah alias nyamuk. 

“Sasa dan Guru Endah, kemarin seekor nyamuk masuk ke kamar kost saya. Nyamuk itu menghisap darah saya kemudian pergi begitu saja,” ceritanya pada kami.

“Hei nyamuk, mau kemana? Jangan pergi dulu! Anda belum membayar darah saya. Ayo bayar dulu 10.000 won,” lanjut Pak Han.

Saya dan Guru Endah tertawa mendengar cerita Pak Han yang membuat nyamuk itu seolah-olah bisa berbicara. Juga karena Pak Han menyebut “Anda”pada nyamuk.

Kata Pak Han nyamuk itu mengatakan “Saya tidak mau bayar, saya sedang buru-buru, jadi saya pergi dulu.”

“Baiklah, kalau ‘Anda’ tidak mau membayar, saya akan mengantar ‘Anda’ ke surga dengan tenang,” kata Pak Han lagi.

Plokkk...(sambil memperagakan menepuk nyamuk dengan kedua tangan). “Akhirnya ‘beliau’ pergi ke surga,” lanjut Pak Han.
  
“Jadi Pak Han membunuh nyamuk itu?” tanyaku kepada Pak Han.

“Tidak membunuh, saya hanya membantu ‘beliau’ pergi ke surga dengan tenang,” jawab Pak Han sambil tertawa

“Pak Han, kata anda dan beliau  tidak bisa digunakan pada nyamuk ataupun hewan lainnya. Kata anda digunakan  sebagai kata ganti untuk orang ke-2 dalam situasi formal sedangkan kata beliau adalah kata ganti untuk orang ke-3 dan digunakan karena seseorang sangat menghormati orang ke tiga tersebut,” kata Guru Endah menjelaskan kekeliruan yang dibuat Pak Han dengan pelan agar dia bisa memahaminya.

“Saya tahu itu Guru Endah, karena nyamuk itu sudah mati jadi saya menyebut nyamuk itu dengan beliau sebagai penghormatan,” jawabnya sambil tertawa

“Saya tau itu sebenarnya tidak boleh, itu hanya bercanda saja,” lanjutnya sambil terus tertawa
  
Ha..ha..ha.............saya dan Guru Endah pun ikut tertawa

Meskipun Pak Han adalah pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan di Korea, namun ia bukanlah orang yang kaku. Dia orang yang suka bercanda dengan cerita-ceritanya yang menarik.

Suatu ketika saya bertemu Pak Han di Kantor Imigrasi Yogyakarta. Saat itu saya sedang mengurus perpanjangan visa salah satu murid Korea sedangkan Pak Han akan melakukan sesi wawancara dan foto untuk perpanjangan visa juga. Namun kami tidak datang bersama karena Pak Han diantar bosku.

“Pak Han, Guru Kim,” teriakku keras memanggil Pak Han dan juga bosku ketika aku melihat mereka memasuki pintu kantor Imigrasi Yogyakarta.

Saking kerasnya aku memanggil mereka, orang disekitar kami langsung melihat ke arah kami.

Sementara bosku pergi ke loket untuk menyerahkan beberapa berkas surat perpanjangan visa, Pak Han datang mendekatiku dan berkata sambil berbisik “Sasa, jangan panggil saya Pak, panggil saja Han atau Mas Han.”

“Ha.............,” teriakku spontan.

“Saya masih muda,” kata beliau lagi

Ya, meskipun usianya sudah 43 tahun namun dia masih merasa muda dan lebih suka dipanggil Han saja. Namun sebagai orang Indonesia saya merasa tidak sopan kalau harus memanggilnya dengan nama saja mengingat usia saya 23 tahun, jauh dibawahnya.

Cerita tentang nyamuk tidak hanya berakhir disitu saja, dilain hari Pak Han kembali mengangkat topik nyamuk sebagai bahan ceritanya.

“Guru Endah dan Sasa, tadi pagi datang lagi seekor nyamuk ke kamar saya,” kata Pak Han, “Nyamuk, untuk apa kamu datang ke kamarku?”

“Saya haus dan lapar, bolehkah saya menghisap darah Anda sedikiiiiiitttttt saja?” jawab nyamuk kepada Pak Han.

“Saya juga lapar karena belum makan pagi, cepatlah pergi nyamuk atau saya akan kirim ‘Anda’ ke surga,” lanjut Pak Han.

“Kemudian apa yang terjadi Pak Han?” tanyaku padanya.

“Pak Han pasti langsung mengirim nyamuk itu ke surga juga ya?” tanya Guru Endah menebak.

Pak Han pun langsung menggulung celana panjangnya yang sebelah kanan sampai hampir mendekati lutut dan juga menggulung lengan bajunya.

Tampaklah bentol-bentol merah di kaki dan lengannya yang putih khas warna kulit orang Korea. Aku hitung ada 6 bentolan merah besar di kaki dan 3 bentolan merah besar di lengan yang diperlihatkannya. Mungkin karena warna kulitnya yang putih itu sehingga bentol-bentol itu terlihat merah sekali.

“Lho, itu karena digigit nyamuk? Pak Han tidak mengirim nyamuk itu ke surga?” tanyaku lagi.

“Ya, saya mengirim nyamuk itu ke surga, tapi yang terjadi setelah itu ...

“Apa Pak Han yang terjadi setelah itu?” tanyaku penasaran.

“Ini Pak Han obat untuk gigitan nyamuk, silahkan dioleskan untuk menghilangkan gatal” kata Guru Endah sambil menyerahkan obat oles untuk mengatasi gigitan nyamuk.

“Setelah itu ..., tunggu, tunggu sebentar ya!” kata beliau sambil membuka kamus elektronik dari smart phone miliknya.

“Menyerbu, menyerbu...” ucap Pak Han lirih.

“Saya lanjutkan..., setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa ....

“Tunggu sebentar ya!” katanya lagi sambil membuka kamus elektronik kembali.

“Ha..., setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa penjulu,” lanjut Pak Han.

“Penjuru Pak Han,” kata Guru Endah mengoreksi pengucapan Pak Han.

“Penjuru..., penjuru..., ini sudah betul?” tanya Pak Han pada kami.

“Ya, sudah betul, Pak Han pintar sekali........” jawab Guru Endah

“Ya, saya pintar sekali, saya sudah tahu,” jawabnya dengan sedikit bercanda.

“Wah, Pak Han sombong sekali” kataku dengan bercanda juga

“Ha...ha...ha... (kami bertiga pun tertawa bersama).

Empat hari setelah cerita Pak Han itu, akhirnya Pak Han kembali ke Korea karena ada urusan urgent di perusahaannya di Korea. Sebelum keberangkatannya ke Korea, dia sempat berpamitan langsung padaku, Guru Endah, dan Guru Kim.

“Pak Han sudah berpamitan pada ‘beliau’?” tanyaku pada Pak Han

“beliau?”

“Nyamuk-nyamuk itu” kataku lirh

“O..., ya... saya sudah berpamitan pada ‘beliau’, ‘beliau’ mengatakan kalau akan melindukan saya” kata beliau sambil tertawa.

“Merindukan, Pak Han,” kataku mengoreksi pengucapan beliau

“Ya, maksudnya itu tapi lidah sulit mengucapkan,” katanya yang kemudian tertawa.

“Ha...ha...ha...,” aku pun ikut tertawa, tawa terakhir bersama beliau yang memanggil nyamuk dengan ‘beliau’.

***
Sudah satu bulan sejak Pak Han meninggalkan Indonesia untuk kembali ke Korea. Kini di kantorku tak ada lagi beliau yang memanggil nyamuk dengan ‘beliau’. Tak ada lagi cerita tentang nyamuk-nyamuk versi Pak Han. Hingga suatu pagi saya mengobrol dengan Ibu Kim, seorang murid Korea juga di kantorku yang juga merupakan teman Pak Han.

“Ibu Kim, apa Pak Han sering mengirim pesan kepada Ibu Kim?” tanyaku pada Ibu Kim.

“Ya, dua hari yang lalu Pak Han mengirim pesan kepada saya. Pak Han memberi tahu saya kalau sudah sebulan ini dia tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pak Han berkata kepada saya, “Kakak, bagaimana ini....., saya lupa bahasa Indonesia.”

“Ha....” 





Tuesday, May 10, 2016

Pribadi-pribadi Kreatif Penabur Harapan


 


Judul                : Penebar Harapan
Penulis             : Wisnu Prasetya Utomo dan Tim Kick Andy
Penerbit           : Bentang
Cetakan           : Pertama, Maret 2016                                        
Tebal               : x + 174 Halaman
ISBN               : 978-602-291-182-1 

     Di tengah marak korupsi, kasus kekerasan anak dan perempuan serta berbagai masalah bangsa, Indonesia masih memiliki sosok pahlawan yang peduli sesama. Di antaranya, Andri Rizki. Dia  kecewa melihat  pembocoran kunci jawaban Ujian Nasional (UN) yang dilakukan  para guru saat UN di SMP-nya. “Pendidikan adalah media membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik. Apabila sejak bangku sekolah  sudah diajarkan demikian, bagaimana mereka nanti ketika memimpin negara. Itu yang saya pikirkan saat itu,” ungkap Rizki.
    Ia berinisiatif memprotes dan melaporkan kepada guru dan kepala sekolah. Namun, tidak ada respons. Guru malah memperingatkan  agar jangan mem-blow-up pembocoran kunci jawaban demi nama baik sekolah (halaman 4). Akibat krisis kepercayaannya pada institusi sekolah, setelah dua setengah bulan di SMA, Rizki memutuskan keluar. Hati nuraninya belum bisa menerima pengalaman di SMP. 
     Rizki mulai belajar mandiri. Bermodalkan penelusuran lewat Google, dia meriset sistem pendidikan ideal. Saking kerasnya memaksakan diri belajar mandiri, Rizki pernah depresi. Harapan tumbuh ketika dia melihat kesempatan melanjutkan kuliah dengan ijazah paket C. Rizki berhasil melalui ujian Kejar Paket C dengan nilai  9 di semua pelajaran.
      Rizki  melanjutkan ke  Fakultas Hukum UI. Ia merasa sistem pendidikan universitas lebih adil dari SMP dan SMA. Ia berhasil menjadi  juara di berbagai ajang kompetisi. Di antaranya, juara 2 mahasiswa berprestasi FHUI dan best speaker dalam kompetisi pemikiran ilmiah mahasiswa. 
   Pada tahun kedua kuliah, Rizki mendirikan program homeshooling Masjidschooling. Ia ingin berbagi dan melayani  pendidikan kepada anak-anak  putus sekolah. “Saya ingin jadi orang  bermanfaat di bidang pendidikan untuk mereka yang termarginalkan,” pungkas Rizki (halaman 20).
      Kemudian ada kisah Nani Zulminarni, seorang perempuan aktif di gerakan sosial perempuan.  Nani memiliki ide untuk mengganti istilah janda dengan sebutan “pekka” alias perempuan kepala keluarga. Istilah ini lebih positif dan menghargai kerja keras perempuan. Dia memperhatikan  janda-janda miskin yang tidak memiliki sumber daya dan keterampilan. “Kalau mau mengentaskan kemiskinan, perempuan-perempuan kepala rumah tangga ini juga mesti diurus,” tegas Nani (halaman 41). 
     Berikutnya  Poltak, sosok yang mampu menciptakan energi penerangan alternatif untuk menerangi daerah di tempat tinggalnya,  di Kabupaten Kayong Utara (pecahan Kab Ketapang),  Kalimantan Barat. Sebagai daerah yang relatif baru, krisis energi masih membelit wilayah ini. Akan tetapi, di tengah berbagai keterbatasan tersebut muncul inisiatif-inisiatif kecil untuk mampu menyediakan listrik seperti dikerjakan Poltak.
     Pria bernama asli Miswan Edi Susanto ini mampu menghasilkan listrik melalui microhydro dan picohydro  di Kayong Utara. “Cita-cita saya ingin membuatkan listrik untuk warga desa. Indonesia sudah merdeka, tapi ada sebagian warga belum merdeka dalam menikmati listrik” ujarnya (halaman 138). 
     Selain Rizki, Nani, dan Poltak masih ada lima peraih Kick Andy Heroes Award lain yang diulas dalam buku. Ulasan ini mau  menyadarkan pembaca bahwa masih ada pahlawan di sekeliling. Kedelapan sosok yang diulas dalam buku ini contohnya. Mereka adalah para penabur harapan di tengah karut-marut bangsa.
 

Diresensi Tanti Endarwati, lulusan Stikes Surya Global Yogyakarta


Dimuat di Koran Jakarta edisi 11 Mei 2016


h

Sunday, May 1, 2016

Keberanian Hartini Membuka Status Sebagai ODHA





Judul               : Hartini: Memoar Seorang Perempuan dengan HIV
Penulis            : Anang YB
Editor              : Andy F. Noya
Penerbit           : Kompas
Cetakan           : Pertama, 2016
Tebal               : 200 Halaman
ISBN               : 978-602-412-012-2

     Buku ini berkisah tentang kehidupan nyata seorang ibu rumah tangga bernama Hartini. Hartini harus rela kehilangan Nandito, buah hati tercintanya yang belum genap berusia setahun. Nandito pergi untuk selama-lamanya akibat sebuah penyakit yang tidak pernah dia bayangkan. Dua minggu sebelum Nandito meninggal Hartini baru mengetahui bahwa Nandito HIV positif.
    “HIV itu AIDS? Nandito sakit itu?” Hartini merasa seperti tertimpa runtuhan bata tepat di atas kepalanya. Kabar itu terlalu mengagetkan dirinya (hal. 20). Nandito meninggal karena HIV positif sehingga dokter mnyarankan agar Hartini dan suami menjalani test VCT. Namun suami Hartini menolak untuk melakukan test karena merasa dirinya sehat sedangkan Hartini menjalani test tersebut untuk membuktikan bahwa dia bukanlah seorang dengan HIV positif.
     Dua minggu serelah menjalani test VCT hasilnya pun keluar. Hasil test VCT membuat Hartini seolah mendadak lumpuh. Seluruh sendi di badannya seolah terlepas. Ingin rasanya saat itu Hartini meninggalkan dunia ini. Hartini dinyatakan HIV positif! Cobaan ini jauh dari gambaran terburuk yang bisa dilukiskan Hartini.
      Siapakah yang menularkan penyakit ini? Menuduh suami pun hampir mustahil. Orang sakit AIDS setahu Hartini adalah orang kurus, hampir mati, selalu berbaring di tempat tidur, dan kulit rusak. Sementara Leo ataupun dua suami sebelumnya adalah pria-pria sehat. Leo dan Hartini sepakat untuk tidak bercerita pada keluarga dengan alasan hal itu akan membuat malu keluarga.
      Setelah kepergian Nandito, Hartini mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Kekerasan itu sebenarnya sudah terjadi sejak awal pernikahan dan terus berulang. Leo, suaminya seperti mempunyai dua kepribadian. Leo terlalu posesif. Hingga akhirnya Hartini memutuskan untuk bercerai karena tidak tahan dengan perlakuan Leo. Inilah ketiga kalinya Hartini gagal dalam membina rumah tangga.
     Semenjak bercerai, Hartini rutin berkunjung ke rumah sakit untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi ODHA. Hartini mulai bergabung dengan IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia) dan LSM kesehatan. Di LSM inilah Hartini bertemu Tarmono yang juga ODHA. Mereka berdua akhirnya menikah. Hartini sengaja membuat komitmen dengan Tarmono bahwa mereka menikah dengan tujuan mempunyai anak. Hartini tahu bahwa meskipun ODHA mereka masih memiliki harapan untuk mempunyai anak yang sehat.
     Belakangan Hartini mendapat informasi bahwa HIV positif tidak harus menikah dengan HIV positif karena itu justru mempersulit. “Kalau keduanya sakit, siapa yang akan menjaga dan merawat?” begitu pesan salah satu dokter sahabat Hartini (hal. 113). Tumbuh sedikit penyesalan dalam diri Hartini karena terburu-buru memutuskan menikah dengan sesama HIV positif ditambah lagi dengan kebiasaan Tarmono yang hobi berjudi dan mengkonsumsi metadon. Hartini tidak tahan lagi dengan perkawinan yang mulai mengering tanpa cinta. Juga tanpa nafkah. Hartini memutuskan mengakhiri perkawinan.
      Selepas bercerai yang keempat kali, Hartini kembali membina rumah tangga dengan seorang laki-laki sehat yang menerima apa adanya kondisi dirinya, baik statusnya sebagai janda ataupun ODHA. Laki-laki itu bernama Firman. Mereka berdua sama-sama ingin mempunyai anak sehingga selalu berkonsultasi pada dokter. Hartini tidak ingin suami yang dia cintai tertular HIV selain itu Hartini ingin mempunyai anak yang sehat.
      Kini Hartini mulai berani membuka statusnya sebagai ODHA. Dia pernah tampil di acara TV dengan topik soal HIV dan kekerasan. Bahkan Hartini pernah menjadi narasumber di acara Kick Andy. Keberanian Hartini untuk tampil secara terbuka telah menginspirasi ODHA lain. Hartini mampu membuktikan bahwa ODHA bisa hidup normal, tidak menyusahkan orang lain, bisa mempunyai anak yang sehat, dan masih bisa membangun keluarga yang bahagia.
      Melalui kisah Hartini dalam buku ini, Anang YB selaku penulis berusaha membuka mata masyarakat bahwa persepsi masayarakat yang sering mengidentikkan ODHA hanya pekerja seks dan pecandu narkoba perlu diubah. Ibu rumah tangga juga rentan terkena HIV. Lewat buku ini pembaca akan lebih tahu mengenai HIV dan AIDS sehingga tidak terjebak dalam stigma negatif terkait ODHA.



Resensi ini dimuat di Harian Nasional edisi Sabtu-Minggu 30 April-1 Mei 2016