Tuesday, July 25, 2017

Kritik Sosial dalam Lenso Merah dan Putih




Judul               : Petang Panjang di Central Park
Penulis            : Bondan Winarno
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, 2016                                                  
Tebal               : 360 Halaman
ISBN               : 978-602-385-187-4

      Buku berjudul Petang Panjang di Central Park ini ditulis oleh Bondan Winarno yang lebih dikenal sebagai pakar kuliner ketimbang penulis. Tidak banyak orang yang tahu bahwa Bondan Winarno sebelumnya adalah seorang penulis sebelum terkenal sebagai pencicip makanan dalam sebuah acara televisi yang terkenal dengan jargon “maknyus”. Banyak cerpennya yang telah dimuat di majalah dan koran. Buku ini merupakan kumpulan cerpen Bondan yang pernah dimuat di berbagai koran tersebut. Melalui buku ini Bondan menyajikan berbagai masalah kehidupan yang dibumbui dengan kisah percintaan, persahabatan, rumah tangga, dan juga perbedaan. Menggunakan setting yang indah seperti di wilayah Indonesa Timur, Paris, Filipina, India, dan New York.
     Pada kisah berjudul  Lenso Merah dan Lenso Putih mengisahkan tentang cinta sepasang sejoli yang berasal dari latar belakang berbeda bernama Duon dan Hamidah. Duon adalah pemuda beragama Kristen dari Kampung Silale sedangkan Hamidah adalah seorang muslim dari Gang Banyo. Kedua desa tersebut memang saling berseteru hingga terjadi peperangan yang menelan banyak korban dari kedua belah pihak.
       Di tengah peperangan yang tengah berlangsung, Duon tertembak. Dalam kondisi kritis ia dibawa ke gereja oleh pendeta Sahalessy dan jemaah Kampung Silale. Di tengah perang tersebut Hamidah kekasihnya diselundupkan dari Gang Banyo untuk dibawa ke gereja agar bisa menemui Duon. Namun sayang kekasih yang sangat ia cintai menghembuskan nafas terakhirnya. Duon meninggal dengan lenso atau sapu tangan merah di tangannya.
     Kemudian ayah Hamidah, Haji Idris dan para pemuda Gang Banyo mendatangi gereja tempat meninggalnya Duon. Haji Idris bersalaman dengan Pendeta Sahalessy dan segera mengambil lenso merah dari tangan Duon dan mengikatnya dengan lenso putih dari tangan Hamidah. Pada akhirnya warga muslim dari Gang Banyo yang menggunakan lenso putih dan warga Kampung Silale yang menggunakan lenso merah saling berpelukan dan mengikatkan lenso merah putih di kepala mereka masing-masing. Tidak bisa merah sendiri atau putih sendiri karena merah dan putih harus bersatu (hal 311).
      Kisah ini mengajarkan akan pentingnya menjaga ikatan persaudaraan dan persatuan. Perbedaan yang ada bukanlah alasan untuk bermusuhan. Perbedaan adalah bumbu kehidupan yang seharusnya membuat kehidupan akan lebih berwarna. Kisah ini sangat sesuai dengan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia belakangan ini. Munculnya konflik antar umat beragama terjadi karena didasari faktor politis maupun superioritas beragama semata. Kisah ini mengingatkan akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan. Walaupun berbeda-beda tapi tetap harus bersatu.
    Cerita menarik lain dapat ditemukan pada kisah berjudul Sebuah Rumah Berdinding Batu di Kalipasar. Kisah ini menceritakan tentang orang yang serakah pada saudaranya sendiri. Omar Sadikin, seorang purnawirawan harus mengelus dada menerima perlakuan adiknya sendiri yang begitu sangat serakah dan tidak tahu diri. Niat hati membantu sang adik dengan meminjamkan rumah yang tidak ditinggali selama ia bertugas justru membuatnya kehilangan rumah tersebut. Rumah di jalan Kalipasir itu justru diakui oleh adiknya sebagai miliknya. Tak cukup merebut rumah kakaknya saja, ia juga membuat sang purnawirawan itu menjadi terdakwa. Sungguh ironi sekali kisah ini, seorang pemilik yang justru dituduh sebagai pencuri. Seorang yang sudah menolong tapi justru ditikam.
     Lagi-lagi kisah tentang ketidakadilan dan keserakahan yang diracik Bondan Winarno ini juga sesuai dengan persoalan yang terjadi sekarang di negeri ini. Beberapa kali terjadi kisah serupa ini ditengah-tengah masyarakat. Mulai dari anak menuntut ibu atau ayah kandung sendiri dengan uang tuntutan mencapai milyaran rupiah sampai orang yang tega menghabisi satu keluarga demi menguasai harta korban. Itu semua adalah bentuk dari sifat keserakahan yang dimiliki manusia. Sifat serakah yang bahkan tidak mengenal hubungan keluarga apalagi balas budi.
      Terdapat pesan dan kritik sosial dari setiap kisah yang diracik Bondan Winarno dalam buku ini. Setiap kisah disajikan dengan begitu apik dan pelajaran yang berbeda dapat diambil dari berbagai sisi. Buku ini sungguh komplet karena segala cita rasa dapat ditemukan di sini. Mulai dari cinta, kesedihan, kekosongan, penghianatan, kesetiaan, kesepian sampai luka yang tidak terperi.

Dimuat di Radar Sampit Edisi 23 Juli 2017


n

No comments:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian