Saturday, October 15, 2016

Belajar Pendidikan Moral dari Kisah-kisah Wayang






Judul                : Politik Akal Ukil
Penulis             : Ono Sarwono
Penerbit           : Media Indonesia Publishing
Cetakan           : Pertama, 2015                                                  
Tebal               : 238 Halaman
ISBN               : 978-602-73495-0-6

   Wayang merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang mengagumkan dan patut dilestarikan. Selain sebagai tontonan ternyata wayang mengandung muatan tuntunan dan gambaran perilaku yang baik dan buruk manusia. Buku ini merupakan bagian dari upaya melestarikan wayang di mana berbagai peristiwa di Nusantara dikaitkan dengan tutur kata dan tingkah laku tokoh wayang.
     Ada falsafah Jawa yang berbunyi sabda pandhita ratu tan keno wola-wali, yang artinya kurang lebih pemimpin itu bicaranya tidak boleh mencla-mencle. Jangan sampai pula disebut pagi tempe, sore kedelai, omongannya tidak bisa dipegang (halaman 22).
     Dalam jagat wayang banyak contoh pemimpin yang teguh akan konsistensinya. Salah satu yang layak direnungkan adalah Raja Astina Prabu Kresnadwipayana. Kresnadwipayana tidak pernah keseleo lidah. Sekali bicara, ia kukuh dengan apa yang telah diucapkan. Bahkan apa pun yang terjadi akibat pernyataannya, ia tidak pernah membatalkan. Kresnadwipayana merupakan model pemimpin yang konsisten. Lantas, adakah pemimpin dan elite di negeri ini yang sudi bermazhab Kresnadwipayana? 
   Pada cerita berjudul Jejak Duryudana diceritakan bahwa Duryudana menjadi penguasa di Negara Astina melalui proses inkonstitusional. Ia menggenggam kekuasaan melalui kudeta akal-akalan yang diotaki dan digerakkan sang paman, Trigantalpati alias Harya Suman. Kendati palsu, kekuasaan itu ia genggam hingga benar-benar sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia dan seluruh keluarganya, Kurawa, tumpas di tangan Pandawa.
    Hikmah yang bisa diambil pada sosok Duryudana ini adalah contoh titah haus kekuasaan. Ia merengkuhnya dengan menyalahi pakem. Selain tidak mempunyai persyaratan baku sebagai ahli waris raja, Duryudana juga tidak berkepribadian unggul. Laku Duryudana seperti itu, dalam perspektif kekinian merupakan keengganan melawati prosedur atau cari gampangnya saja karena dengan kekuasaan dan materi semuanya bisa dibeli. Menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, itulah yang disebut mental menerabas (halaman 38).
   Dalam kisah wayang berjudul Pudarnya Keresian Wisrawa diceritakan bahwa Wisrawa berniat mengabdikan dirinya demi kemaslahatan semua makhluk. Langkah besarnya dengan meninggalkan takhta Kerajaan Lokapola dan memilih menjadi resi atau orang suci. Namun  Wisrawa yang sudah menjadi resi ternyata tidak mampu mengendalikan diri. Ia tiba-tiba kehilangan ‘keresiannya’. Nafsu duniawi yang sudah lama tidur tiba-tiba bangun dan menggelora. Wisrawa tidak kuat menahan gejolak asmara ketika melihat kecantikan Sukesi. 
    Cerita Wisrawa ini bisa dijadikan sindiran bagi para elite dan pemimpin di negeri ini. Gambaran Wisrawa yang menjadi resi itu artinya seperti mereka-mereka yang telah memproklamasikan diri menjadi elite atau pemimpin di negeri ini. Idealnya dengan predikat itu mereka sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan diri sendiri.
     Namun faktanya perilaku sebagian elite dan pimpinan di negeri ini tidak lagi sesuai dengan pakemnya. Persis Wisrawa, mereka terjerembap oleh ‘kemolekan’ duniawi. Posisinya sebagai elite atau pimpinan itu secara terang-terangan mereka gadaikan demi mencari kekayaan dan memenuhi nafsu-nafsu pribadi lainnya.
   Menarik adalah mengungkap kisah Srikandi, putri Prabu Drupada. Srikandi diceritakan sebagai sosok perempuan yang mahir memanah. Keakuratannya memanah bahkan diceritakan mampu memutus sehelai rambut. Dengan kemahirannya memanah itu, Srikandi diangkat menjadi salah satu komandan penjaga  kedaulatan Amarta. Kisah kegemilangan keprajuritannya di antaranya ketika ia mampu mendeteksi kehadiran musuh yang menyamar menjadi putra Pandawa dan ingin mencuri jimat Kalimasada. 
    Dalam dunia politik di negeri ini tokoh Srikandi memang tidak jauh berbeda dengan karakter Susi Pudjiastuti, sosok Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi dikenal sebagai sosok yang trengginas memanah kapal-kapal pencuri ikan yang menghancurkan kedaulatan ekonomi nasional. Kapal-kapal asing itu mengelabui seolah sebagai kapal Indonesia, tetapi kenyataannya maling. Untuk melakukan tugasnya, tentunya Susi harus didukung dan dibantu ‘priyambada-priyambada’ alias aparat negara lainnya.
    Kisah-kisah dari tokoh pewayangan yang terdapat dalam buku ini dapat menjadi pembelajaran yang efektif tentang budi pekerti. Wayang bukan sekadar tontonan yang indah tetapi juga mengandung nilai yang lebih hakiki dari kisah atau ceritanya. Melalui buku ini pembaca dapat belajar mengenai budi pekerti karena manusia harus terus berusaha untuk mempertebal sifat-sifat baik, dan sebaliknya membuang jauh-jauh sifat buruk. 


n

Motivator Sejati adalah Diri Sendiri

Dimuat di Koran Jakarta Edisi 12 Oktober 2016 




Judul               : Saya Motivator Diri Saya Sendiri
Penulis             : Sifra Susi Langi dan Fransisca Supandi
Penerbit           : Change
Cetakan           : Pertama, Februari 2016                                    
Tebal               : 222 Halaman
ISBN               : 978-602-372-079-8 

        Motivasi bagian terpenting pergerakan manusia. Tanpanya,  pergerakan tidak akan pernah terjadi dan hampir mustahil muncul sesuatu  dari tangan manusia. Motivasi merupakan dorongan dari dalam dan luar diri seseorang. Dia merangsang hasrat dan energi untuk terus-menerus berkomitmen bekerja, berbuat, dan melakukan sesuatu demi tujuan.
      Merry Riana mengatakan, pada halaman pertama buku, “Motivasi merupakan sebuah musik dalam kehidupan. Orang bermotivasi memiliki alasan kuat untuk sukses.” Muncullah ‘motivator beo’ untuk meraih keuntungan berlipat. Mencipta menjadi kurang penting karena dengan mengutip saja sudah bisa menjadi kaya.
       Namun ada motivator sejati sesuai dengan passion yang  menjunjung tinggi nilai-nilai hidup. Tindakannya memotivasi atau membangkitkan semangat orang lain dan diri sendiri. Dia selalu dapat menampilkan diri kepada orang lain sesuai dengan apa adanya tanpa harus berkedok atau menutup-nutupi kondisi riil. Lalu benarkah setiap individu butuh motivasi? Jawabannya, manusia tidak perlu dimotivasi kalau mengerjakan kesukaannya (halaman 7).
     Meskipun demikian, mau tak mau harus diakui bersama bahwa kadang manusia sering menghadapi masalah dan cobaan. Saat itu dia berada dalam titik terlemah karena merasa lemah secara fisik, mental, dan terlebih emosional. Untuk itu seseorang memerlukan semacam ‘vitamin’ tambahan berupa dorongan membangkitkan semangat.
       Beberapa orang berputus asa sering nekat bunuh diri atau menjadi kalap melukai orang lain. Lainnya, menjadi apatis. Ada pula orang yang bermanifestasi pasrah total gara-gara putus asa dengan membuat klaim diri, “Bukan takdir saya.” Semua perasaan buruk yang tidak dikelola dengan baik dan tidak berhasil dinetralisasi perlahan menjadi bongkahan bonggol akar negatif.
        Gagal adalah tabu sehingga ada orang memilih berkata, “Sukses yang tertunda” (halaman 125). Setiap orang pasti pernah gagal, bingung, takut, ditolak, dianiaya, miskin, kecewa, marah, cemburu, sedih, dan bahkan putus asa. Ini bisa karena harapannya tidak terwujud.
      Semua perasaan ini membuat tidak percaya diri untuk melangkah dan menjadikan motivator sebagai pelarian baik untuk sekadar berkonsultasi atau minta pencerahan. Semua  tidak ada salahnya. Kehilangan  kepercayaan diri bisa menjadi masalah serius yang harus dicarikan solusi.
     Manusia mempunyai pilihan dalam menyikapi persoalan hidup serta mengolah diri hingga mencapai kesadaran bahwa sesungguhnya seseorang harus bisa memotivasi diri dulu sebelum mencerna kata-kata orang lain. Tuhan sudah mengaruniai yang luar biasa berupa semangat, intuisi, dan banyak karakter. Jika semua dimanfaatkan dengan baik akan menjadi pendongkrak memperbaiki diri mencapai manusia seutuhnya.


n