Monday, May 16, 2016

Ingatanku tentang Pak Han


Seorang bapak datang ke kantor tempatku bekerja. Melihat wajahnya aku langsung tahu kalau dia orang Korea. Dia berdiri beberapa menit di depan papan pengumuman yang terpampang di bagian depan kantor. Entah mengerti atau tidak dengan apa yang sedang dibacanya karena semuanya dalam tulisan Indonesia, namun yang jelas dia tampak serius membaca apa yang tertulis di papan tersebut. 

Annyounghaseyo, selamat pagi,” kata orang Korea yang datang tersebut

Aku yang sedikit bisa beberapa kata dalam bahasa Korea pun menjawab, “Annyounghaseyo.”

“Anda Pak Han,” tanyaku padanya.

Aku sudah tahu kalau orang Korea ini bernama Han Jeong Hee karena sebelumnya bosku sudah memberitahuku kalau ada murid Korea baru yang akan datang. Kata bosku dia adalah seorang pengusaha yang berniat membuka restoran Korea di Jakarta. Dia sedikit bisa berbahasa Indonesia karena sudah belajar secara otodidak selama 3 bulan.

“Ya, betul saya nama Han,” katanya.

“Anda baru pertama kali datang ke Jogja?” tanyaku lagi.

“Ya, ini pertama saya datang ke Jogja,” jawabnya.

“Apa minuman Indonesia orang suka? Indonesia orang suka minuman ini?” tanya dia padaku sambil memberikan sebotol minuman merk terkenal padaku.
  
Aku bisa mengerti apa yang dikatakannya meskipun susunan kalimatnya terbalik. Aku sudah terbiasa berbicara dengan orang Korea yang baru awal-awal belajar bahasa Indonesia.

“Ya, banyak orang Indonesia menyukai minuman ini,” jawabku pelan agar dia mengerti yang aku katakan.

Itu kejadian ketika pertama kali aku bertemu dengan Pak Han. Setelah  2 bulan dia belajar bahasa Indonesia di tempatku bekerja, dia sudah cukup lancar berbicara menggunakan bahasa Indonesia karena dia sangat aktif dalam berbicara. Pernah suatu kali dia bercerita di depan saya dan Guru Endah yaitu guru yang mengajar Pak Han. Topik yang dia ceritakan sederhana, yaitu tentang makhluk kecil penghisap darah alias nyamuk. 

“Sasa dan Guru Endah, kemarin seekor nyamuk masuk ke kamar kost saya. Nyamuk itu menghisap darah saya kemudian pergi begitu saja,” ceritanya pada kami.

“Hei nyamuk, mau kemana? Jangan pergi dulu! Anda belum membayar darah saya. Ayo bayar dulu 10.000 won,” lanjut Pak Han.

Saya dan Guru Endah tertawa mendengar cerita Pak Han yang membuat nyamuk itu seolah-olah bisa berbicara. Juga karena Pak Han menyebut “Anda”pada nyamuk.

Kata Pak Han nyamuk itu mengatakan “Saya tidak mau bayar, saya sedang buru-buru, jadi saya pergi dulu.”

“Baiklah, kalau ‘Anda’ tidak mau membayar, saya akan mengantar ‘Anda’ ke surga dengan tenang,” kata Pak Han lagi.

Plokkk...(sambil memperagakan menepuk nyamuk dengan kedua tangan). “Akhirnya ‘beliau’ pergi ke surga,” lanjut Pak Han.
  
“Jadi Pak Han membunuh nyamuk itu?” tanyaku kepada Pak Han.

“Tidak membunuh, saya hanya membantu ‘beliau’ pergi ke surga dengan tenang,” jawab Pak Han sambil tertawa

“Pak Han, kata anda dan beliau  tidak bisa digunakan pada nyamuk ataupun hewan lainnya. Kata anda digunakan  sebagai kata ganti untuk orang ke-2 dalam situasi formal sedangkan kata beliau adalah kata ganti untuk orang ke-3 dan digunakan karena seseorang sangat menghormati orang ke tiga tersebut,” kata Guru Endah menjelaskan kekeliruan yang dibuat Pak Han dengan pelan agar dia bisa memahaminya.

“Saya tahu itu Guru Endah, karena nyamuk itu sudah mati jadi saya menyebut nyamuk itu dengan beliau sebagai penghormatan,” jawabnya sambil tertawa

“Saya tau itu sebenarnya tidak boleh, itu hanya bercanda saja,” lanjutnya sambil terus tertawa
  
Ha..ha..ha.............saya dan Guru Endah pun ikut tertawa

Meskipun Pak Han adalah pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan di Korea, namun ia bukanlah orang yang kaku. Dia orang yang suka bercanda dengan cerita-ceritanya yang menarik.

Suatu ketika saya bertemu Pak Han di Kantor Imigrasi Yogyakarta. Saat itu saya sedang mengurus perpanjangan visa salah satu murid Korea sedangkan Pak Han akan melakukan sesi wawancara dan foto untuk perpanjangan visa juga. Namun kami tidak datang bersama karena Pak Han diantar bosku.

“Pak Han, Guru Kim,” teriakku keras memanggil Pak Han dan juga bosku ketika aku melihat mereka memasuki pintu kantor Imigrasi Yogyakarta.

Saking kerasnya aku memanggil mereka, orang disekitar kami langsung melihat ke arah kami.

Sementara bosku pergi ke loket untuk menyerahkan beberapa berkas surat perpanjangan visa, Pak Han datang mendekatiku dan berkata sambil berbisik “Sasa, jangan panggil saya Pak, panggil saja Han atau Mas Han.”

“Ha.............,” teriakku spontan.

“Saya masih muda,” kata beliau lagi

Ya, meskipun usianya sudah 43 tahun namun dia masih merasa muda dan lebih suka dipanggil Han saja. Namun sebagai orang Indonesia saya merasa tidak sopan kalau harus memanggilnya dengan nama saja mengingat usia saya 23 tahun, jauh dibawahnya.

Cerita tentang nyamuk tidak hanya berakhir disitu saja, dilain hari Pak Han kembali mengangkat topik nyamuk sebagai bahan ceritanya.

“Guru Endah dan Sasa, tadi pagi datang lagi seekor nyamuk ke kamar saya,” kata Pak Han, “Nyamuk, untuk apa kamu datang ke kamarku?”

“Saya haus dan lapar, bolehkah saya menghisap darah Anda sedikiiiiiitttttt saja?” jawab nyamuk kepada Pak Han.

“Saya juga lapar karena belum makan pagi, cepatlah pergi nyamuk atau saya akan kirim ‘Anda’ ke surga,” lanjut Pak Han.

“Kemudian apa yang terjadi Pak Han?” tanyaku padanya.

“Pak Han pasti langsung mengirim nyamuk itu ke surga juga ya?” tanya Guru Endah menebak.

Pak Han pun langsung menggulung celana panjangnya yang sebelah kanan sampai hampir mendekati lutut dan juga menggulung lengan bajunya.

Tampaklah bentol-bentol merah di kaki dan lengannya yang putih khas warna kulit orang Korea. Aku hitung ada 6 bentolan merah besar di kaki dan 3 bentolan merah besar di lengan yang diperlihatkannya. Mungkin karena warna kulitnya yang putih itu sehingga bentol-bentol itu terlihat merah sekali.

“Lho, itu karena digigit nyamuk? Pak Han tidak mengirim nyamuk itu ke surga?” tanyaku lagi.

“Ya, saya mengirim nyamuk itu ke surga, tapi yang terjadi setelah itu ...

“Apa Pak Han yang terjadi setelah itu?” tanyaku penasaran.

“Ini Pak Han obat untuk gigitan nyamuk, silahkan dioleskan untuk menghilangkan gatal” kata Guru Endah sambil menyerahkan obat oles untuk mengatasi gigitan nyamuk.

“Setelah itu ..., tunggu, tunggu sebentar ya!” kata beliau sambil membuka kamus elektronik dari smart phone miliknya.

“Menyerbu, menyerbu...” ucap Pak Han lirih.

“Saya lanjutkan..., setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa ....

“Tunggu sebentar ya!” katanya lagi sambil membuka kamus elektronik kembali.

“Ha..., setelah itu beberapa nyamuk datang menyerbu saya dari beberapa penjulu,” lanjut Pak Han.

“Penjuru Pak Han,” kata Guru Endah mengoreksi pengucapan Pak Han.

“Penjuru..., penjuru..., ini sudah betul?” tanya Pak Han pada kami.

“Ya, sudah betul, Pak Han pintar sekali........” jawab Guru Endah

“Ya, saya pintar sekali, saya sudah tahu,” jawabnya dengan sedikit bercanda.

“Wah, Pak Han sombong sekali” kataku dengan bercanda juga

“Ha...ha...ha... (kami bertiga pun tertawa bersama).

Empat hari setelah cerita Pak Han itu, akhirnya Pak Han kembali ke Korea karena ada urusan urgent di perusahaannya di Korea. Sebelum keberangkatannya ke Korea, dia sempat berpamitan langsung padaku, Guru Endah, dan Guru Kim.

“Pak Han sudah berpamitan pada ‘beliau’?” tanyaku pada Pak Han

“beliau?”

“Nyamuk-nyamuk itu” kataku lirh

“O..., ya... saya sudah berpamitan pada ‘beliau’, ‘beliau’ mengatakan kalau akan melindukan saya” kata beliau sambil tertawa.

“Merindukan, Pak Han,” kataku mengoreksi pengucapan beliau

“Ya, maksudnya itu tapi lidah sulit mengucapkan,” katanya yang kemudian tertawa.

“Ha...ha...ha...,” aku pun ikut tertawa, tawa terakhir bersama beliau yang memanggil nyamuk dengan ‘beliau’.

***
Sudah satu bulan sejak Pak Han meninggalkan Indonesia untuk kembali ke Korea. Kini di kantorku tak ada lagi beliau yang memanggil nyamuk dengan ‘beliau’. Tak ada lagi cerita tentang nyamuk-nyamuk versi Pak Han. Hingga suatu pagi saya mengobrol dengan Ibu Kim, seorang murid Korea juga di kantorku yang juga merupakan teman Pak Han.

“Ibu Kim, apa Pak Han sering mengirim pesan kepada Ibu Kim?” tanyaku pada Ibu Kim.

“Ya, dua hari yang lalu Pak Han mengirim pesan kepada saya. Pak Han memberi tahu saya kalau sudah sebulan ini dia tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pak Han berkata kepada saya, “Kakak, bagaimana ini....., saya lupa bahasa Indonesia.”

“Ha....” 





No comments:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian