Saturday, November 18, 2017

HAM dalam Tradisi Pemikiran Barat dan Agama




Judul           : Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan
Penulis        : Budi Hardiman
Penerbit      : Kanisius
Cetakan      : 2017        
Tebal          : 159 Halaman
ISBN          : 978-979-21-3083-6

        Di Indonesia masih sering kita jumpai kasus pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus yang paling hangat adalah kasus seorang suami di Tangerang yang membunuh istri dan kedua anaknya sendiri. Suami tersebut telah mengambil hak hidup dari istri dan anak-anaknya sendiri. Kasus pelanggaran HAM berupa bullying, kekerasan terhadap anak dan perempuan pun masih sering dijumpai di Indonesia. Padahal HAM merupakan hak yang dimiliki setiap orang sejak dalam kandungan hingga lahir dan berlaku seumur hidup serta tidak seorang pun boleh mengambilnya. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi terkadang berbenturan dengan nilai-nilai agama dan kebudayaan. Hal inilah yang coba dibahas oleh penulis yang merupakan seorang filosof Indonesia dalam buku berjudul Hak-hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. 
    Awalnya, HAM dipahami sebagai wujud dari paham liberalisme Barat dan individualisme yang hanya digunakan untuk memperjuangkan hak-hak individualistik saja. Namun karena pelanggaran HAM terjadi di banyak tempat dan dirasakan oleh banyak orang membuat lahirnya pemikiran tentang kewarganegaraan dunia. Sejak itulah konsep individualisme yang awalnya menjadi patokan seolah diperumit oleh modernitas. Modernitas ini menyajikan berbagai persoalan rumit yang melecehkan hak-hak manusia yang kodrati seperti hak memperoleh kebebasan, hak untuk hidup, dan hak untuk memperoleh keamanan. 

     Hal ini membuat lahirnya pemikiran tentang HAM yang menjunjung martabat kemanusiaan yang kemudian dirumuskan ke dalam bahasa hukum. Dalam hal ini semua manusia menurut kodratnya memiliki kebebasan yang sama, otonom, dan memiliki hak-hak tertentu sejak lahir (hal 46). Meskipun kerangka teoritis HAM berhasil dirumuskan dalam bahasa hukum namun secara praktis pemikiran tersebut masih belum berjalan. Pelanggaran-pelanggaran HAM justru semakin tidak terbendung.
     Kondisi ini menuntut adanya HAM universal. HAM yang mampu melindungi seluruh masyarakat agama yang seringkali menjadi pemicu pelanggaran HAM di tengah arus modernitas. Pada akhirnya dirumuskan HAM universal yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 oleh PBB. Terdapat sejumlah kebebasan yang dilahirkan dari pemikiran HAM universal ini, yaitu hak mendapatkan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta kebebasan beragama. 
       Di sisi lain polemik sering terjadi bila HAM dikaitkan dengan agama. Contohnya saat membicarakan mengenai HAM dan kaitannya dengan agama Islam. Pemikiran tentang HAM memang berasal dari Barat. Namun klaim Islam bahwa Islamlah yang mengenal dan mempraktikkannnya jauh sebelum Barat melakukannya mengacu tidak pada pemahaman konseptual yang sama (hal 59). Tidak bisa disangkal bahwa konsep-konsep utama yang membentuk rumusan HAM  seperti individu, otonomi, dan hak-hak kodrati berasal dari tradisi pemikiran Barat.
      Memang benar bahwa konsep-konsep kunci tersebut pada dasarnya diambil dari kebudayaan Kristiani Barat.  Namun HAM merupakan konsep modern yang terkadang dianggap sekularistis dan anti Kristen. HAM yang ada hanya menjadi persembunyian orang-orang Barat karena sama sekali tidak mencerminkan gambaran manusia. Bagi kelompok Islam hal ini juga memicu resistensi di kalangan mereka. Islam juga menganggap HAM sebagai produk sekularisme dan liberalisme Barat. 
    Untuk itu pada tahun 1990 negara-negara Islam memaklumkan The Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam deklarasi ini ditetapkan bahwa hak-hak manusia dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan syariah Islam. Meskipun demikian tetap saja muncul anggapan bahwa HAM bertentangan dengan hukum Allah sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penegakan HAM.
       Pada intinya Buku karya Budi Hardiman ini membahas lima tema polemik tentang HAM, yaitu polemik antara hak-hak asasi universal dengan republikanisme, antara hak-hak asasi versi Barat dengan versi Islam, antara hak-hak individual dalam liberalisme dengan hak-hak kolektif dalam masyarakat dengan bermacam-macam kebudayaan, antara hak-hak asasi manusia dengan nilai-nilai Asia, dan terakhir antara hak-hak asasi manusia dengan kewajiban-kewajiban asasi manusia. Melalui bukuini, tepatnya pada halaman 121, Budi Hardiman juga membantah tesis yang menyebutkan bahwa hak-hak asasi manusia tidak cocok dengan kebudayaan Asia.

Dimuat di Radar Sampit Edisi 22 Oktober 2017


m

No comments:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian