Saturday, November 18, 2017

Pandangan Kontroversial Nietzsche Tentang Kebenaran dan Fanatisme



Judul           : Gaya Filsafat Nietzsche
Penulis        : A. Setyo Wibowo
Penerbit      : Kanisius
Cetakan      : Pertama, 2017                                   
Tebal          : 440 Halaman
ISBN          : 978-979-21-5131-2

    Friedrich Wihelm Nietzsche hidup di ujung abad modern. Dia lahir di Rocken Jerman Timur pada tanggal 15 Oktober 1844 di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Nietzsche sudah harus menjadi yatim pada usia 5 tahun. Sejak saat itu ibu, kakak-kakaknya, nenek, dan tantenya yang memelihara dan mendidiknya. Ia dikenal sebagai filsuf penting Jerman yang banyak mengkritik dan memprovokasi kebudayaan Barat pada masanya. Salah satu pemikiran Nietzsche yang terkenal adalah pemikirannya tentang kebenaran. Filsafat cara memandang kebenaran menurut Nietzsche lebih dikenal dengan istilah perspektivisme. 
    Sering kita sulit untuk mempercayai suatu kebenaran karena adanya perbedaan sudut pandang. Tingkat kepercayaan memerlukan wawasan luas dan keyakinan yang mantap terhadap suatu kebenaran yang dipegang. Menurut Nietzsche, orang yang hanya mempercayai suatu kebenaran dan menerima kebenaran tersebut lalu menegasikan yang dianggap batil adalah individu yang lemah. Dalam artian orang tersebut tidak mampu beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada (hal 238).
     Menerima kebenaran saja tidaklah cukup karena ini hanya berarti menolak sisi hidup lain yang pada hakikatnya merupakan penyempurnaan kehidupan itu sendiri. Terkadang kebenaran sulit untuk dipastikan karena kepastian hanya dibuat oleh orang yang mempercayainya saja. Orang yang tidak mempercayainya sudah pasti menolak kebenaran tersebut. Jadi di sini kebenaran itu tergantung bagaimana masing-masing individu menginterpretasikannya dan masalah interpretasi ini tidak dapat dilepaskan dari perspektif. Menurut sang filsuf karena kebenaran tergantung pada perspektif tertentu maka setiap klaim kebenaran hanya bersifat imanen. 
    Bagi Nietzsche, ada keterkaitan antara suatu kepercayaan tertentu dengan kebutuhan untuk percaya dari suatu subjek di mana itu menunjukkan kekuatan dan kelemahan. Contohnya konsep agama tertentu yang membuat orang rela menjadi pembunuh. Atau pada kasus lain di mana Tuhan dipercaya manusia saat putus harapan karena berhadapan dengan persoalan yang dirasa di luar kemampuannya.
     Dahulu banyak orang pepercaya pada objek-objek tertentu seperti kepercayaan pada gunung, binatang buas, bulan, dan yang luar biasa dari kepercayaan tersebut adalah mampu menghindarkan dari berbagai musibah. Hal ini merepresentasikan pengakuan kelemahan manusia terhadap berbagai masalah tersebut. Yang terlihat jelas dari hal ini adalah bahwa begitu kekuatan manusia meningkat maka kepercayaannya juga berubah.
    Nietzsche mengungkapkan bahwa semua fanatisme merupakan pengungkapan kelemahan manusia itu sendiri. Tidak hanya fanatisme terhadap suatu agama saja tapi bisa juga fanatisme dalam filsafat, patriotisme, bahkan dalam ateisme karena fanatisme memang bisa berbentuk apa saja. Satu hal yang jelas di sini bahwa manusia selalu membutuhkan pegangan dan tuntutan yang memerintah dari luar diri yang pada akhirnya melahirkan fanatisme. Fanatisme muncul dari kebutuhan akan pegangan hidup. Ini untuk menjaga agar dirinya tetap eksis dan tertata di tengah-tengah kenyataan yang menurut Nietzsche ambigu, plural, dan selalu menjadi tidak pasti.
      Bahkan dalam sains pun tetap ada fanatisme yang mengklaim kebenaran tunggal. Fanatisme sains yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan mengorbankan kepercayaan lainnya. Ambisi sains dalam mencari kebenaran sebenar-benarnya ini dipandang oleh Nietzsche sebagai keinginan mati-matian akan kematian. Hal ini terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan ekologis (hal 231). 
    Nietzsche sendiri diketahui sebagai tokoh eksistensialis yang ateis. Dia beranggapan bakwa percaya pada Tuhan adalah pengakuan akan kelemahan manusia itu sendiri. Apalagi percaya pada hal lain selain Tuhan seperti gunung dan benda lainnya. Baginya, Tuhan yang digambarkan hanyalah suatu bentuk proyeksi kesadaran manusia terhadap cinta atau kekuatan yang terdapat di dalam dirinya sendiri.
    Pandangan epistemologinya tentang kebenaran yang diungkapkan Nietzche memang kontroversial. Hal ini sulit untuk diterima oleh mereka yang beragama atau penganjur ideologi. Di Indonesia sendiri terkadang kepercayaan dijadikan sebagai bahan untuk menciptakan propaganda demi kepentingan kelompok tertentu tapi setidaknya  paradigma Nietzche tersebut tetap memiliki manfaat yaitu untuk melihat sisi terdalam suatu kebenaran yang memang kerap diperjuangkan oleh yang mempercayainya. Terkadang memperjuangkan kebenaran tanpa disadari didasari akan kebutuhan ekonomi, politis, psikologi, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Cara yang digunakan untuk memperjuangkan kebenaran pun terkadang salah dan hal inilah yang tidak benar.

Dimuat di Radar Sampit edisi 29 Oktober 2017


m

No comments:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian