Judul :
Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis
Penulis :
Haryatmoko
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal :
158 Halaman
ISBN : 978-979-21-4561-8
Buku yang
ditulis oleh Haryatmoko, lulusan dari Universitas Sorbone Paris ini mengulas
tentang pemikiran enam filsuf Perancis yaitu Michael Focault, Pierre Bourdieu,
Jean Baudrillard, Paul Ricoeur, Gilles Deleuze, dan Jacques Derrida. Pemikiran
keenam filsuf penting Perancis ini merupakan salah satu corak berpikir
kefilsafatan yang merupakan aspek dekonstruktif yang bekerja dengan
mempertanyakan suatu perspektif tertentu yang sudah cukup jelas untuk dikritik,
digugat maupun dibongkar.
Penulis mengaitkan
rezim kepastian dengan hasrat dan juga kekuasaan. Menurut Filsuf Michael
Focault yang banyak mengemukakan gagasan yang berhubungan dengan relasi kuasa
dan pengetahuan menjelaskan bahwa kekuasaan itu sangat mempesona sehingga ia
rela menderita demi mendapatkan kekuasaan itu. Saat ini kekuasaan diidentikkan
dengan negara sehingga kekuasannya bersifat terpusat sementara menurut Foucault
kekuasaan itu bersifat menyebar dan produktif. Sifatnya yang menyebar itulah
yang membuat kekuasaan melibatkan banyak pihak.
Pada masa dulu, kekuasaan
sering dikaitkan dengan perang atau aturan dalam bentuk perintah maupun
larangan. Bagi Foucault tidak demikian karena baginya kekuasaan itu dapat
berwujud dalam relasi antara pasien dan kliennya, tes wawancara di sebuah
perusahaan, atau berupa jajak pendapat. Dari hubungan-hubungan seperti itu,
kekuasaan yang beroperasi akan menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan inilah
yang kemudian akan dikembangkan. Pada akhirnya pengetahuan ini akan ikut
berperan dalam pembentukan individu yang modern. Dari situ, didefinisikanlah
hal yang normal dan hal yang tidak normal (hal 17).
Untuk
mendapatkan kekuasaan dibutuhkan modal berupa kapital-kapital untuk
mewujudkannya. Terdapat empat kapital utama yang dikelompokkan oleh Bourdieu
yaitu kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan yang terakhir
kapital simbolik. Kapital ekonomi diukur secara finansial. Kapital ini
merupakan kapital yang paling mudah dikonversikan ke dalam bentuk lain. Namun
kapital ini oleh masyarakat kelas atas sengaja dipatenkan sehingga membuat
masyarakat kelas menengah bawah akan kesulitan untuk mencapai kekuasaan
tersebut.
Kapital budaya contohnya
adalah berupa pengetahuan. Menurut Bourdieu, sekolah merupakan sumber dari
kesenjangan sosial. Untuk membuktikannya hal itu mudah, cukup melihat
prosentase latar belakang orang tua yang menguliahkan anak-anaknya di jurusan
favorit di kampus favorit. Jurusan tersebut pasti didominasi oleh mereka yang
berlatar belakang menengah atas. Orang dengan pengetahuan yang tinggi akan
memiliki kesempatan untuk berkuasa sehingga jelas bahwa kekuasaan yang
diinginkan sudah dapat dipastikan sejak awal.
Sementara
kapital sosial adalah yang menentukan selera dan hasrat. Hasrat sangat
diperlukan untuk mempertahankan sebuah kekuasaan karena hasrat mempengaruhi
pola konsumsi seseorang. Dalam mengkonsumsi sesuatu, mereka yang masuk kelas
menengah atas cenderung bukan hanya berdasarkan kebutuhan melainkan berdasarkan
cara mempertahankan kelas mereka.
Jean Baudrillard
mengatakan bahwa hasrat untuk mengonsumsi suatu barang biasanya dilakukan
setelah orang tersebut memperoleh pengaruh manipulasi tanda. Ia berpendapat
bahwa model iklan yang berprofesi sebagai public
figure lebih memiliki dampak yang besar dalam manipulasi tanda. Contoh,
saat seorang model cantik memakai pemutih wajah dan wajahnya tampak cerah
berseri maka banyak orang tertarik membeli produk tersebut. Padahal, kulit
model tersebut memang sudah cantik tanpa memakai produk yang diiklankan.
Baudriallard
berpendapat bahwa manusia modern terjebak dalam rimba tanda yang merupakan
reduksi dari realitas. Mereka mengambil keputusan dengan dipandu oleh aturan
tanda, baik itu dilakukan demi mendukung posisi kelasnya maupun untuk
mengafirmasi hidup dan identitas mereka. Itulah mengapa dia meletakkan fenomena
konsumsi manusia modern dalam kerangka “manipulasi tanda”. Memang pada titik
ini, konsumsi telah mendorong mereka untuk menjadi individualistis. Mereka
lebih mengutamakan pemenuhan hasrat mereka terhadap barang atau jasa tertentu
dan hal ini makin lama akan membuat rasa solidaritas hilang (hal 71).
Dengan menguasai
keempat kapital tersebut membuat individu terdorong untuk melakukan aktivitas
yang secara sosial membedakan dirinya dari masyarakat lainnya, baik itu dalam
kelas sosial yang sama maupun dengan anggota masyarakat dari kelas sosial
lainnya. Hal ini tanpa sadar akan membuat individu tersebut menerapkan strategi
kekuasaan pada level simbolik. Strategi ini selalu berhasil menindas yang lemah
atau pihak-pihak yang termarginalkan karena ketiadaan akses untuk mencapai
kapital-kapital tersebut. Melalui buku ini pembaca diajak untuk menggunakan
analisisnya apakah kepastian akan membuat seseorang bahagia seperti yang semua
orang harapkan atau tidak. Selamat membaca!
Dimuat di Harian Bhirawa Edisi 25 Agustus 2017
Halaman 4
k