Judul :
30 Paspor: The Peacekeepers Journey
Penulis :
J.S.
Khairen
Penerbit :
Noura Books
Cetakan : Pertama, Maret 2017
Tebal :
392 Halaman
ISBN : 978-602-385-219-2
Keunggulan yang
dicapai manusia di masa depan tidak pernah lepas dari seberapa hebat ia
terlatih menghadapi aneka kesulitan dan tantangan kehidupan. Hal inilah yang
membuat Rhenald Kasali, praktisi bisnis terkemuka di Indonesia yang juga
seorang akademisi memberikan tugas yang tidak biasa untuk mahasiswa yang
diampunya pada mata kuliah Pemasaran Internasional di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Rhenald Kasali memahami betul bahwa manusia baru
memahami kemampuan sendiri yang hebat setelah mampu menghadapi kesulitan. Untuk
itu ia memberikan tugas yang membuat 30 mahasiwanya mengeluh pada mulanya.
Pada mata kuliah
ini, sang profesor memberikan tugas pada setiap mahasiswanya untuk membuat paspor
saat pertama kali masuk. Selanjutnya mereka diharuskan untuk pergi ke luar
negeri selama satu kali pada saat mengambil mata kuliah ini dengan beberapa
syarat tertentu. Pertama, mahasiswa harus pergi seorang diri. Kedua, mereka
tidak boleh pergi ke negara yang menggunakan bahasa Melayu seperti Malaysia dan
Singapura. Ketiga, satu negara hanya boleh dikunjungi maksimal oleh dua orang
dan tidak boleh pergi pada waktu yang sama. Bila dua mahasiswa memilih negara
yang sama maka mereka harus pergi pada waktu yang berbeda dengan kota tujuan berbeda
pula.
Tentu ini bukan
tugas yang mudah apalagi tidak semua mahasiswa berasal dari keluarga kaya.
Masalah biaya sudah pasti menjadi kendala awal. Banyak mahasiswa yang sampai
berdagang, ikut lomba, menabung atau mengajukan proposal pendanaan. Selain itu,
hal tersebut memicu perdebatan di antara orang tua mahasiswa. Para orang tua
khawatir kalau anaknya hilang saat di luar negeri atau kesasar. Pihak internal dan
para dosen lain juga turut khawatir karena para mahasiswa juga harus
meninggalkan mata kuliah lain selama melakukan perjalanan ke luar negeri. Tapi
sekali lagi sang dosen menegaskan bahwa mahasiswa itu perlu diajarkan kehidupan
sesungguhnya, salah satunya dengan melepas mereka ke negeri asing dan
mengkondisikan mereka dalam keadaan “kesasar”.
Menurut Rhenald
Kasali, dengan bepergian sendirian ke tempat asing, akan menumbuhkan self driving dalam diri setiap
mahasiswanya. Kalau seseorang itu diberikan masalah, pasti akan ada
kecenderungan untuk mencari jalan keluar. Inilah yang namanya proses
pembelajaran. Pembelajaran di dalam kelas saja tidak akan cukup untuk
menghasilkan rajawali yang tangguh. Pembelajaran bukanlah menghafal materi di
dalam kelas tapi kemampuan mengembangkan diri dengan cara berpikir kreatif,
mandiri, dan berkarakter leadership.
Mereka harus dilatih menghadapi aneka kesulitan dan tantangan hidup secara
nyata.
Dimulailah
cerita perjalanan para mahasiswa ke luar negeri sesuai negara yang mereka pilih
dengan segala suka dukanya. Ada perjalanan Risma yang memilih melakukan
perjalanan ke Swiss meski memiliki tumor di tubuhnya. Di Swiss ia berkenalan
dengan Virginie, tepat setelah Jakarta yang kabarnya di bom oleh teroris. Meski
Virginie beragama berbeda namun Risma tetap menjadi Muslim yang baik dengan
menjaga perdamaian. “Aku tidak percaya teroris punya agama. Semoga kamu tidak
menganggap kami seorang Muslim adalah teroris. Kami juga menjadi korban,” kata Risma (hal. 6).
Awalnya Risma
mengira bahwa Virginie tidak mau berkenalan dengannya. Dugaannya salah karena ternyata
dia justru turut bersimpati atas terjadinya bom di Jakarta. Risma bahkan diajak
melihat gereja di sana dan orang-orang bersikap ramah kepadanya, ia diterima
meski beragama berbeda. Dia bersyukur bisa sampai ke Swiss dan bisa berkunjung
ke Jenewa untuk melihat kantor PBB. Risma juga melihat papan reklame UNICEF,
yang mengatakan bahwa masih banyak anak-anak di negara tertinggal yang tidak
sekolah, kelaparan dan berpenyakit. Ia bersyukur masih bisa ke luar negeri
meski dalam kondisi sakit parah.
Lain cerita
Risma, lain pula cerita Hestia Livana yang memilih pergi ke Jepang. Dengan
kemampuannya berbahasa Inggris ia bahkan bisa membantu seorang pedagang di
Pasar Tsukiji. Berkat kemampuannya itu ia mampu menarik banyak wisatawan
asing untuk membeli dagangan penjual
tersebut. “Bahasa Inggris menjadi senjata andalanku untuk promosi,” kata Hesti
(hal.75).
Meskipun cerita
perjalanan masing-masing mahasiswa Rhenald Khasali ini tidak diceritakan secara
terperinci setiap langkahnya namun buku ini mampu menginspirasi pembaca untuk
berani melakukan perjalanan ke luar negeri seperti mereka. Buku ini juga
membuktikan bahwa everything is posible,
uang dan kendala bahasa bukan menjadi halangan untuk melakukan perjalanan ke
luar negeri.
Dimuat di Samarinda Pos Edisi Sabtu 5 Agustus 2017
Halaman 15
No comments:
Post a Comment
Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian