Friday, August 25, 2017

Hasrat dan Kekuasaan dalam Rezim Kepastian

Dimuat di Harian Bhirawa Edisi 25 Agustus 2017





Judul           : Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis
Penulis        : Haryatmoko
Penerbit      : Kanisius
Cetakan      : Pertama, 2016                                   
Tebal          : 158 Halaman
ISBN          : 978-979-21-4561-8

    Buku yang ditulis oleh Haryatmoko, lulusan dari Universitas Sorbone Paris ini mengulas tentang pemikiran enam filsuf Perancis yaitu Michael Focault, Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Paul Ricoeur, Gilles Deleuze, dan Jacques Derrida. Pemikiran keenam filsuf penting Perancis ini merupakan salah satu corak berpikir kefilsafatan yang merupakan aspek dekonstruktif yang bekerja dengan mempertanyakan suatu perspektif tertentu yang sudah cukup jelas untuk dikritik, digugat maupun dibongkar.
     Penulis mengaitkan rezim kepastian dengan hasrat dan juga kekuasaan. Menurut Filsuf Michael Focault yang banyak mengemukakan gagasan yang berhubungan dengan relasi kuasa dan pengetahuan menjelaskan bahwa kekuasaan itu sangat mempesona sehingga ia rela menderita demi mendapatkan kekuasaan itu. Saat ini kekuasaan diidentikkan dengan negara sehingga kekuasannya bersifat terpusat sementara menurut Foucault kekuasaan itu bersifat menyebar dan produktif. Sifatnya yang menyebar itulah yang membuat kekuasaan melibatkan banyak pihak.
      Pada masa dulu, kekuasaan sering dikaitkan dengan perang atau aturan dalam bentuk perintah maupun larangan. Bagi Foucault tidak demikian karena baginya kekuasaan itu dapat berwujud dalam relasi antara pasien dan kliennya, tes wawancara di sebuah perusahaan, atau berupa jajak pendapat. Dari hubungan-hubungan seperti itu, kekuasaan yang beroperasi akan menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang kemudian akan dikembangkan. Pada akhirnya pengetahuan ini akan ikut berperan dalam pembentukan individu yang modern. Dari situ, didefinisikanlah hal yang normal dan hal yang tidak normal (hal 17).
     Untuk mendapatkan kekuasaan dibutuhkan modal berupa kapital-kapital untuk mewujudkannya. Terdapat empat kapital utama yang dikelompokkan oleh Bourdieu yaitu kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan yang terakhir kapital simbolik. Kapital ekonomi diukur secara finansial. Kapital ini merupakan kapital yang paling mudah dikonversikan ke dalam bentuk lain. Namun kapital ini oleh masyarakat kelas atas sengaja dipatenkan sehingga membuat masyarakat kelas menengah bawah akan kesulitan untuk mencapai kekuasaan tersebut.
      Kapital budaya contohnya adalah berupa pengetahuan. Menurut Bourdieu, sekolah merupakan sumber dari kesenjangan sosial. Untuk membuktikannya hal itu mudah, cukup melihat prosentase latar belakang orang tua yang menguliahkan anak-anaknya di jurusan favorit di kampus favorit. Jurusan tersebut pasti didominasi oleh mereka yang berlatar belakang menengah atas. Orang dengan pengetahuan yang tinggi akan memiliki kesempatan untuk berkuasa sehingga jelas bahwa kekuasaan yang diinginkan sudah dapat dipastikan sejak awal.
      Sementara kapital sosial adalah yang menentukan selera dan hasrat. Hasrat sangat diperlukan untuk mempertahankan sebuah kekuasaan karena hasrat mempengaruhi pola konsumsi seseorang. Dalam mengkonsumsi sesuatu, mereka yang masuk kelas menengah atas cenderung bukan hanya berdasarkan kebutuhan melainkan berdasarkan cara mempertahankan kelas mereka.
    Jean Baudrillard mengatakan bahwa hasrat untuk mengonsumsi suatu barang biasanya dilakukan setelah orang tersebut memperoleh pengaruh manipulasi tanda. Ia berpendapat bahwa model iklan yang berprofesi sebagai public figure lebih memiliki dampak yang besar dalam manipulasi tanda. Contoh, saat seorang model cantik memakai pemutih wajah dan wajahnya tampak cerah berseri maka banyak orang tertarik membeli produk tersebut. Padahal, kulit model tersebut memang sudah cantik tanpa memakai produk yang diiklankan.
       Baudriallard berpendapat bahwa manusia modern terjebak dalam rimba tanda yang merupakan reduksi dari realitas. Mereka mengambil keputusan dengan dipandu oleh aturan tanda, baik itu dilakukan demi mendukung posisi kelasnya maupun untuk mengafirmasi hidup dan identitas mereka. Itulah mengapa dia meletakkan fenomena konsumsi manusia modern dalam kerangka “manipulasi tanda”. Memang pada titik ini, konsumsi telah mendorong mereka untuk menjadi individualistis. Mereka lebih mengutamakan pemenuhan hasrat mereka terhadap barang atau jasa tertentu dan hal ini makin lama akan membuat rasa solidaritas hilang (hal 71).
     Dengan menguasai keempat kapital tersebut membuat individu terdorong untuk melakukan aktivitas yang secara sosial membedakan dirinya dari masyarakat lainnya, baik itu dalam kelas sosial yang sama maupun dengan anggota masyarakat dari kelas sosial lainnya. Hal ini tanpa sadar akan membuat individu tersebut menerapkan strategi kekuasaan pada level simbolik. Strategi ini selalu berhasil menindas yang lemah atau pihak-pihak yang termarginalkan karena ketiadaan akses untuk mencapai kapital-kapital tersebut. Melalui buku ini pembaca diajak untuk menggunakan analisisnya apakah kepastian akan membuat seseorang bahagia seperti yang semua orang harapkan atau tidak. Selamat membaca!

Dimuat di Harian Bhirawa Edisi 25 Agustus 2017
Halaman 4

k

No comments:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar di Blog Ini:
-Dilarang promosi iklan
-Dilarang menyisipkan link aktif pada komentar
-Dilarang komentar yang berbau pornografi, unsur sara, dan perjudian